Warga Indonesia Jihad ke Suriah, Apa Hukumnya?

“Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal mampu untuk melakukannya, sungguh Allah akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia.” (HR. Ahmad).

Perjuangan rakyat Suriah hari ini adalah salah satu contoh pembelaan diri dari tindakan kejahatan. Sudah bertahun-tahun mereka hidup di bawah kekejaman rezim Syiah Nusyairiyah. Berbagai macam bentuk kekerasan menimpa rakyat Suriah, puluhan ribu anak kecil dan wanita dibantai, jutaan lainnya terusir dari kampung halaman.
Masjid-masjid dihancurkan dan dinodai kesuciannya. Kaum muslimin dibombardir saat menunaikan shalat Jum’at.
Dalam rentang waktu 15 Mei 2011 sampai 6 Juni 2013, militer Basyar Asad telah menghancurkan lebih dari 1451 masjid, antara hancur total dan sebagian. Tidak kurang dari 48 Khatib dan Imam masjid ikut terbunuh dalam penghancuran ini.
Banyak orang mengira konflik Suriah adalah perang saudara. Padahal pada hakekatnya perang Suriah tidak lepas dari penindasan akidah yang telah menimpa rakyat Suriah. Dimulai dari Sulaiman Asad, Hafidz Asad, dan sekarang Basyar Asad, hampir selama 40 tahun.
Sebagian orang mengatakan, Basyar Asad tidaklah mengenal Nusyairiyah kecuali namanya saja. Namun fakta dukungan dan pembelaan dari Syiah Iran, Irak, Hizbullah Lebanon sulit untuk menampik bahwa rezim Basyar adalah pemerintahan Syiah. Tangan dinginnya dalam pembantaian, penghancuran masjid, dan sejumlah kebrutalan lain membuat seorang spesialis dalam sekte Syiah, Dr Majdi Al-Rab’i, berkesimpulan bahwa rezim Suriah hari ini adalah perwujudan baru sekte Syiah Qaramithah masa lalu.
Syiah Qaramithah (salah satu sekte bathiniyah syiah) pada tahun 317 Hijriah tepatnya pada hari Tarwih, menyerang para jamaah haji dan membunuh lebih daripada 30 ribu jiwa. Mereka menghancurkan kubah Zamzam, mencopot pintu Ka’bah, dan membongkar kiswahnya. Mereka menyembelih jamaah haji meskipun berlindung di balik tirai Ka’bah.
Jauh sebelum revolusi, sebenarnya para ulama sudah sering memberikan nasihat dan arahan kepada Basyar Asad agar tidak bertindak zalim terhadap warga Suriah yang mayoritas Muslim (Ahlus Sunah Wal Jama’ah). Salah satunya adalah Syaikh Anas Suwaid, anggota Rabithah Ulama Homs.
“Suatu hari kami pergi ke para petinggi militer rezim di Homs, kami nasihati mereka untuk menghentikan segala bentuk kekejaman dan kezaliman. Namun hasilnya nihil, mereka tetap saja sombong dan besar kepala serta terus melakukan kekejaman dan penindasan,” ujar Syaikh Anas.
Syaikh Anas Syuwaid dalam wawancara dengan wartawan JITU beberapa waktu lalu di Turki. 
Setelah berkobarnya revolusi di seluruh Suriah, para ulama mengeluarkan pernyataan tegas kepada rezim. Lebih dari sepuluh tuntutan disampaikan para ulama dan diliput oleh seluruh media di Suriah.
“Kami pun memberanikan diri untuk langsung menyampaikannya ke hadapan Basyar Asad. Sekitar 20 perwakilan ulama termasuk saya di antaranya ikut serta dalam pertemuan dengan Basyar Asad,” terang ulama muda ini.
Di hadapan Basyar, lanjut Syaikh Anas, para ulama menyampaikan semua tragedi dan krisis kemanusiaan yang terjadi, dari mulai pemerkosaan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Para ulama menyampaikan ini semua kepadanya karena mereka melihat Basyar sebagai orang yang mewakili kekuatan militer.
“Namun tidaklah kami sampai kembali ke rumah-rumah kami melainkan setiap hari bertambah kekejaman dan keganasan yang dilancarkan olehnya. Dari mulai penyembelihan anak-anak, pemerkosaan, pengeboman, hingga pembumihangusan, dan lainnya,” beber Syaikh Anas.
Akan tetapi rakyat Suriah tidak pernah menyangka bahwa “Hizbullah” Lebanon akan turut campur tangan dengan membela rezim dan mengirim milisinya untuk memerangi rakyat Suriah. “Hizbullah” dengan terang-terangan mengumumkan melibatkan diri dalam pertempuran di Suriah, melindungi rezim Basyar Al Asad pada akhir tahun 2012. Pada April 2013, mereka mengirimkan ribuan tentara ke Qushair untuk membantu pasukan rezim merebut kota yang berbatasan dengan Lebanon tersebut.
Kota Jdaidah Artouz di pinggiran Damaskus adalah salah satu ladang pembantaian rezim Basyar Asad yang dibantu milisi Syiah Lebanon ini. Pada tahun 2013, tentara Basyar masuk kota itu bersama milisi Syiah Lebanon dan pasukan khusus Garda Republik. Mereka membantai lebih dari 350 warga. Mulai dari bayi sampai warga sepuh, dengan menggunakan berbagai senjata, mulai dari senapan sampai pisau.
Intervensi “Hizbullah” di Suriah juga mendapatkan kecaman dari Ketua Persatuan Ulama Internasional Syaikh DR Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi. Beliau pun mengatakan, “Hizbullah” yang dalam bahasa Arab berarti “Partai Allah” lebih cocok disebut “Partai Setan”.
“Pemimpin partai setan itu datang untuk melawan kaum Muslimin. Sekarang kita tahu apa yang diinginkan Iran. Mereka ingin meneruskan pembantaian terhadap (Muslim) Sunni. Bagaimana mungkin seratus juta penganut Syiah di seluruh dunia bisa mengalahkan Muslim (Sunni) yang mencapai 1,7 miliar orang? Ini hanya karena Muslim Sunni lemah,” papar Al-Qaradhawi.
Perang Membela Diri
Rakyat Suriah hanyalah membela diri dari serangan keji rezim Nushairiyah. Perlawanan mereka adalah jihad defensif. Dalam istilah fikih Islam, jihad seperti ini masuk dalam kategori jihad daf’u shail. Ibnu Taimiyyah menyebut jihad defensif sebagai jihad daf’u shail yang paling berat dan paling utama kedudukannya. Beliau berkata:
“Jihad defensif merupakan bentuk jihad daf’u shail dari serangan terhadap kehormatan dan agama yang paling urgen kedudukannya. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’. Jika musuh menyerang untuk merusak agama dan dunia, tidak ada sesuatu yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya, tidak dipersyaratkan adanya syarat apapun, tetapi dia harus melawan sesuai kemampuan yang ada. Hal ini telah ditegaskan oleh para ulama madzhab kami dan madzhab lainnya, maka wajib dibedakan antara melawan musuh zalim kafir yang menyerang (jihad difa’) dengan jihad melawan mereka di negeri mereka (jihad thalab).” (Fatawa Al-Kubra, 5/537)
Pada dasarnya syari’at daf’u shail adalah pembelaan diri dari segala bentuk tindakan kejahatan. Seorang muslim sah melakukan pembelaan atau perlawanan jika kehormatan, harta dan dirinya dalam keadaan terancam.
Secara bahasa daf’ul shail terdiri dari dua suku kata, yaitu kata daf’u dan shail. Daf’u secara bahasa bermakna mencegah, menolak, memaksa atau melampaui batas. Sedangkan shail berasal dari kata shala yang bermakna menerkam, merampas, menyerang atau dalam istilah umum diartikan juga dengan setiap usaha untuk merampas sesuatu yang terjamin keamanannya tanpa melalui proses yang benar. (Ibnu Mandzur, Lisan Al-’Arab, 13/411, Maqayis Fi Al-Lughah, Bab “Shad”, hal: 156)
Secara istilah, menurut Imam Nawawi daf’u as-shail adalah setiap usaha untuk mencegah, menyingkirkan atau menolak segala bentuk kejahatan terhadap kaum muslimin, orang dzimmi, budak, orang merdeka, anak kecil, orang gila atau perampasan harta. Hukumnya adalah boleh untuk menjaga kehormatan jiwa dan harta. Bahkan dalam taraf tertentu hukumnya menjadi wajib. (lihat: An-Nawawi, Raudahtu Thalibin: 10/186)
Fatwa-fatwa Ulama Dunia
Salah seorang ulama Saudi menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Suriah adalah fitnah. Kaum muslimin harus menjauhinya. Hal ini mengundang banyak tanggapan. Syaikh Abdul Aziz Ath-Thuraifi, termasuk jajaran ulama senior Arab Saudi, mengatakan, “Apa yang terjadi di Suriah bukanlah fitnah atau perang biasa, melainkan jihad. Apa yang sedang terjadi di Syam adalah jihad. Tidak boleh disebut dengan ungkapan perang fitnah atau perang biasa, meskipun secara istilah bahasa bisa disebut dengan kata perang. Akan tetapi, sejatinya itu adalah jihad fi sabilillah.”
Beliau menegaskan, “Orang yang membela darah bangsa Arab adalah mujahidin. Mereka adalah menolong agama dan kehormatan mereka. Sekurang-kurangnya, manusia yang membela harta dan kehormatannya walaupun tidak bermaksud untuk menegakan kalimat Allah, ia telah melakukan jihad defensif (daf’u shail). “Siapa yang berperang untuk membela hartanya maka dia syahid,” katanya mengutip sabda Nabi n.
“Seseorang membela hartanya, maka Allah menjadikannya sebagai syahid bila terbunuh. Bagaimana dengan orang yang terbunuh dalam perang pertahanan (daf’u shail) untuk menegakkan kalimat Allah Azza wa Jalla? Tidak diragukan bahwa perbuatannya lebih agung di sisi Allah,” tambahnya. (http://www.youtube.com/watch?v=81NZGJvLKoo)

“Apa yang terjadi di Suriah saat ini termasuk Jihad Daf’i dan pertahanan diri. Ini adalah hak yang dijamin oleh undang-undang ilahi, norma-norma internasional, dan tidak dibantah oleh orang masih waras.”

Dari lapangan langsung, Syaikh Ahmad Ulwan menjelaskan apa yang terjadi di Suriah. Anggota Dewan Yudisial Tertinggi di provinsi Idlib sekaligus komandan Brigade Ibadurrahman Al-Islami ini mengatakan, “Apa yang terjadi di Suriah saat ini termasuk Jihad Daf’i dan pertahanan diri. Ini adalah hak yang dijamin oleh undang-undang ilahi, norma-norma internasional, dan tidak dibantah oleh orang masih waras.”
Dia menambahkan, “Kami di Suriah telah dizalimi dalam agama dan kehormatan, dan darah kami. Masjid-masjid kami dihancurkan! Kami dibom dengan pesawat MiG, rudal Scud, bom barel dengan TNT, tank dan mortir. Bukankah kami berhak untuk membela diri? … Ada ratusan pembantaian terjadi di beberapa bagian Suriah, bukankah rakyat Suriah berhak untuk membela kesucian mereka?” tanyanya. Allah berfirman:
وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ
‘Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka.’ (Al-Anfal: 71).”
“Apa masuk akal bila Syiah di Iran, Irak, Yaman, Lebanon saling memanggil untuk masuk ke Suriah demi membela sistem sektarian ini, namun beberapa thalibul ilmi tidak berani berfatwa tentang wajibnya mendukung rakyat Suriah dan untuk mempertahankan kesucian mereka?” tambahnya. (https://www.youtube.com/watch?v=e29EqqsG7G0)
Dalam konteks yang sama, Syaikh Saud Al-Syuraim, Imam Masjid al-Haram, menyamakan apa yang dilakukan oleh rezim Basyar al-Asad di Suriah, dengan invasi Mongol ke Damaskus.
Syaikh Shuraim mengatakan, “Perang di Suriah adalah gambaran baru dari invasi Mongol ke Damaskus pada 702 H, dalam Pertempuran Shaqhab yang populer. Kemenangan adalah milik ahli haq. Alangkah samanya peristiwa itu dengan sekarang.”
Beliau menjelaskan bahwa perang Suriah bukan perang antar suku. Siapa pun tahu dimensi peperangan di Suriah, kecuali orang yang buta mata hatinya. Karena itulah beliau mengatakan, “Meninggalkan pertolongan kepada saudara muslim dan keislamannya kepada musuh yang menyerangnya adalah bentuk pengkhianatan dan ketidakpedulian.
Sebaliknya, wajib menjaga dan membelanya bila ia diserang, Dalam hadits disebutkan, ‘Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnnya. Ia tidak menzalimi atau menyerahkannya kepada musuh’.” (https://twitter.com/saudalshureem/status/ 334334849169121281)
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Mufti Kuwait, Dr. Ajil An-Nasyimi menyerukan wajibnya seruan umum dari para penguasa untuk jihad ke Suriah. Sebab, menurutnya, syarat-syaratnya sudah sempurna sesuai ketentuan syariat.
“Para fuqaha dalam permasalahan yang terjadi Suriah hari ini, mereka harus memfatwakan jihad.”
“Kami dalam urusan ini mengatakan, ‘Syarat-syarat jihad yang tertulis dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi n telah terwujud, maka wajib bagi setiap manusia sesuai kemampuannya dan bagi penguasa untuk membuat seruan umum dengan kalimat masing-masing’.”

Menurutnya, jihad menjadi wajib bagi kaum muslimin yang lebih dekat dan dan seterusnya sampai yang terjauh. Sedangkan bagi rakyat Suriah sendiri lebih besar tingkat kewajibannya. (https://www.youtube.com/watch? v=Z7aG78KwE-w)
Seruan jihad ke Suriah secara terbuka akhirnya dikeluarkan oleh Asosiasi Ulama Muslim Dunia dalam muktamar luar biasa dengan tema “Peran Ulama dalam Mendukung Rakyat Suriah” yang diselenggarakan pada Kamis (13/6/2013), di salah satu hotel di ibukota Kairo Mesir. Seruan ini keluar, di antaranya menyikapi keterlibatan Hizbullah Lebanon secara besar-besaran dalam perang Qushair pada Mei 2013.

“Jihad menolong saudara kita di Suriah hukumnya Wajib. Baik dengan jiwa, harta, senjata dan segala bentuk Jihad dan pertolongan yang dapat menyelamatkan rakyat Suriah dari cengkeraman bengis rezim Syiah Jihad menolong saudara kita di Suriah hukumnya Wajib. Baik dengan jiwa, harta, senjata dan segala bentuk Jihad dan pertolongan yang dapat menyelamatkan rakyat Suriah dari cengkeraman bengis rezim Syiah.”

Dalam final statement yang dibacakan syaikh Muhammad Hasan, ulama asal Mesir, di hadapan ulama dunia yang hadir, Asosiasi Ulama Muslim mengatakan, “Jihad menolong saudara kita di Suriah hukumnya Wajib. Baik dengan jiwa, harta, senjata dan segala bentuk Jihad dan pertolongan yang dapat menyelamatkan rakyat Suriah dari cengkeraman bengis rezim Syiah”
Masih dalam forum yang sama, Ketua Asosiasi Ulama Dunia, Dr. Yusuf Qardhawi juga membantah anggapan konflik yang telah merenggut nyawa puluhan ribu warga sipil Suriah tersebut sebagai perang saudara.
“Perang itu (di Suriah) bukanlah perang saudara, akan tetapi perang terhadap Islam dan Ahlu Sunnah. Seruanku ini kepada seluruh umat Islam di seluruh Dunia untuk ikut serta melindungi saudara-saudara mereka (di Suriah),” tegasnya. (/2013/06/14/syaikh-qardhawi-perang-di-suriah-adalah-perang-terhadap-islam-dan-kaum-muslimin).

Dalam Majelis Umum Keempat Asosiasi Ulama Dunia, yang diadakan di Istanbul Turki pada 20-22 Agustus 2014, juga ditegaskan bahwa umat Islam yang masih memiliki hati harus mendukung rakyat Suriah dan meringankan penderitaan mereka.
“Bukan rahasia lagi bagi orang yang berpikir waras bahwa apa yang terjadi di Suriah adalah perang sektarian, kekejian, dan pemusnahan yang merenggut nyawa orang-orang tak bersalah, seperti anak-anak, wanita dan orang tua. Mereka yang selamat dari mesin pembunuh itu akan masuk ke mesin pengungsian,” ungkap Majelis dalam final statementnya. Dalam konteks ini, Majelis, di antaranya, menegaskan: Para tokoh dan siapa saja yang masih memiliki hati di dunia ini harus wajib berdiri di pihak rakyat Suriah dalam penderitaan mereka….” (http://mubasher-misr.aljazeera.net/news/ 2014827142213485230.htm)
Fatwa-fatwa tersebut selaras dengan apa yang telah ditentukan oleh para ulama masa lalu dalam kitab-kitab fikih jihad. Mereka telah bersepakat bahwa jika musuh telah menyerang suatu negeri kaum muslimin, maka jihad melawan musuh menjadi wajib ‘ain bagi seluruh penduduk negeri tersebut. Bila penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, maka kaum muslimin di negeri-negeri tetangga wajib membantu. Bila penduduk negeri-negeri tetangga terebut juga belum mampu mengusir musuh, kewajiban mengusir musuh meluas sampai akhirnya mengenai seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Beliau juga menyatakan, “Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka wajib atas seluruh kaum muslimin yang menjadi target serangan untuk melawan dan wajib atas kaum muslimin lainnya untuk menolong kaum muslimin yang diserang, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka”. [Al Anfal : 72)
Sebagaimana Nabi n memerintahkan agar menolong kaum muslimin. Kewajiban ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.” (Lihat: Majmu’ Fatawa, XIV/46)
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Siapa saja mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuh, dan ia mengetahui bahwa ia bisa membantu mereka; maka ia juga wajib keluar berperang mengusir musuh.” (Tafsir Al-Qurtubi, 8/151)
Demikianlah persaudaraan dalam Islam. Kepedulian terhadap sesama muslim mendapat perhatian besar dalam syariat. Ketika sebagian daerah kaum muslimin diserang oleh musuh sementara mereka tidak mampu melawannya maka kaum muslimin yang lainnya wajib membantu. Bahkan Allah pun menegur bagi mereka yang tidak peduli dan tidak mau membela kaum muslimin yang sedang dianiaya oleh musuh.
“Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zalim ini dan berilah kami pelindung, dan penolong dari sisi Engkau!’.” (QS. An-Nisa’: 75).
Menyambut Seruan Ulama
Berlakunya fardhu ain mulai dari kaum muslimin yang terdekat (minal aqrab fal aqrab) ketika penduduk setempat tidak mampu melaksanakan kewajiban tersebut telah mengundang kepedulian kaum muslimin dunia untuk membantu rakyat Suriah.
Sejak awal konflik sampai Maret 2013 diperkirakan 2000 sampai 5500 mujahidin dari luar telah memasuki Suriah[2] dan berjuang demi membela saudara-saudara mereka yang terzalimi. Jabhah Nusrah, misalnya, yang pejuangnya banyak dari luar Suriah, mengangkat slogan: “Wahai penduduk Suriah, kami tebus kalian dengan darah kami.”
Berdasarkan perintah dan hukum Islam yang jelas itu, maka keberangkatan kaum muslimin ke Suriah, termasuk 34 warga Indonesia —jika ini benar— seperti dikabarkan oleh BNPT, mestinya tidak disikapi dengan kekhawatiran mereka akan berbuat teror di negerinya sendiri. Atau melabeli mereka sebagai teroris, mengikuti kebijakan Amerika Serikat. Sebab mereka berangkat atas dasar fardhu ain untuk membela saudara-saudaranya. Fardhu ain bagi masyarakat muslim yang jauh adalah menjadi gugur ketika dengan bantuan itu terwujudlah kekuatan untuk melawan kezaliman.
Dua ratus juta Muslim Indonesia seharusnya bersyukur karena—seperti disebutkan oleh Ansyaad Mbai—telah ada 34 orang[3] yang menjalankan kewajiban tersebut, mewakili mereka. Sebagai negara penyandang muslim terbesar di dunia, maka perkara yang wajib dipikirkan adalah apakah dengan 34 orang saja itu telah cukup untuk menolong masyarakat muslim Suriah? Bila tidak, jumlah itu harus ditambah. Sebab ketentuan hukum Islam dalam hal ini telah jelas. Mereka berangkat ke Suriah demi menjalankan perintah agama. Bukankah menjalankan agama masing-masing dijamin oleh Undang-Undang? 

Lebih baru Lebih lama