loading...

Kisah Akhir Perang Uhud dan Pasca Perang Uhud - Hallo sahabat Pahala Online, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kisah Akhir Perang Uhud dan Pasca Perang Uhud, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Sirah Rasul, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.



Judul : Kisah Akhir Perang Uhud dan Pasca Perang Uhud
link : Kisah Akhir Perang Uhud dan Pasca Perang Uhud

Baca juga


Kisah Akhir Perang Uhud dan Pasca Perang Uhud


AKHIR PERANG UHUD


Babak kedua perang Uhud, kaum kuffâr Quraisy terus berusaha menyerang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilindungi mati-matian oleh para shahabatnya Radhiyallahu anhum. Seiring dengan peperangan yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, para shahabat yang benar-benar beriman dengan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai gelisah dan mengkhawatirkan keselamatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dalam kondisi seperti ini, Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan nikmat yang teramat besar kepada mereka yaitu rasa aman dalam wujud rasa ngantuk. Kantuk berat yang tiba-tiba menerpa membuat para shahabat yang sedang membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tertidur sejenak dan pedang-pedang mereka berjatuhan lalu tersadar kembali. Setelah itu, rasa khawatir yang mendera mereka sirna berganti dengan keyakinan dan semangat membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin berkobar. Abu Thalhah al Anshâri Radhiyallahu anhu termasuk diantara para shahabat yang diterpa rasa kantuk berat sampai-sampai pedang beliau Radhiyallahu anhu jatuh beberapa kali. Peristiwa menakjubkan ini beliau Radhiyallahu anhu ceritakan sendiri, sebagaimana dalam riwayat Imam Bukhâri [1]

قَالَ كُنْتُ فِيمَنْ تَغَشَّاهُ النُّعَاسُ يَوْمَ أُحُدٍ حَتَّى سَقَطَ سَيْفِي مِنْ يَدِي مِرَارًا يَسْقُطُ وَآخُذُهُ وَيَسْقُطُ فَآخُذُهُ 

Abu Thalhah Radhiyallahu anhu mengatakan : saya termasuk diantara yang diterpa rasa kantuk saat perang Uhud sampai-sampai pedang saya jatuh beberapa kali, setiap kali jatuh saya ambil, jatuh lagi saya sambil lagi.

Tentang ni’mat ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَىٰ طَائِفَةً مِنْكُمْ

Kemudian setelah kalian berdukacita, Allâh menurunkan kepada kalian rasa aman (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kalian [Ali Imrân/3:154]

Inilah yang dirasakan oleh para shahabat yang benar-benar beriman kepada kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kondisi sebaliknya dirasakan oleh kaum munafikin yang memutuskan tidak mengikuti tokoh mereka Ibnu Salûl dan memilih ikut terjun ke medan tempur di Uhud. Mereka tidak merasakan ketenangan yang dirasakan oleh kaum Mukminin. Mereka tetap didera kekhawatiran, bukan mengkhawatirkan keselamatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri dan mereka ini mulai dihinggapi rasa putus asa sampai akhirnya berburuk sangka kepada Allâh Azza wa Jalla . Mereka memendam rasa ini dalam hati-hati mereka, namun Allâh Azza wa Jalla membongkar rasa yang mereka rahasiakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ ۗ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ ۖ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا ۗ قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمْ ۖ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“…sedang segolongan lagi, (mereka) telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allâh seperti sangkaan jahiliyah[2] . Mereka berkata, "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?". Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allâh". mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allâh (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allâh Maha mengetahui isi hati. [Ali Imrân/3:154]

KAUM KUFFAR PUTUS ASA
Semangat baru yang dirasakan kaum Mukminin membuat perlawanan mereka semakin seru. Tujuan mereka melindungi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggapai ridha Allâh Azza wa Jalla . Dengan idzin Allâh Azza wa Jalla , akhirnya, mereka berhasil menempatkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada posisi yang lebih aman dari sebelumnya. Keberhasilan ini menimbulkan rasa putus asa di pihak lawan. Mereka merasa kewalahan menghadapi perlawanan kaum Muslimin dan mereka merasa tidak mungkin lagi bisa memenangkan peperangan dengan kemenangan telak. 

Abu Sufyân, panglima pasukan Quraisy tidak bisa berbuat banyak, dia tampil dengan sombong seraya mengatakan, “Adakah Muhammad diantara kalian ?” Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para shahabatnya, “Jangan dijawab!” Abu Sufyân berkata lagi, “Adakah Abu Qahâfah (Abu Bakr) diantara kalian ?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan dijawab!” Abu Sufyan berkata lagi, “Adakah (Umar) bin Khattab diantara kalian ?” Lalu dia melanjutkan ucapannya, “Mereka semua telah terbunuh. 

Seandainya mereka masih hidup tentu mereka sudah menjawab !” Mendengar ucapan ini Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu tidak mampu menahan dirinya, beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Engkau bohong, wahai musuh Allâh. Semoga Allâh Azza wa Jalla mengekal sesuatu yang membuatmu sedih.” Abu Sufyân mengatakan, “Junjunglah Hubal !” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jawablah perkataannya !” Para shahabat bertanya, “Apa yang harus kami ucapkan ?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allâh Azza wa Jalla itu lebih tinggi dan lebih mulia.” Abu Sufyân berteriak lagi, “Kami memiliki Uzâ sementara kalian tidak memiliki Uzâ.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jawablah!” Para shahabat bertanya, “Apa yang harus kami ucapkan ?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allâh Azza wa Jalla adalah pelindung kami sementara kalian tidak memiliki pelindung.” Abu Sufyân berkata lagi, “Hari ini sebagai balasan perang Badar. 

Kemenangan dalam peperangan itu bergantian. Kalian akan mendapati perbuatan mutilasi yang tidak pernah aku perintahkan namun juga tidak aku benci!”[3] Dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Ishâq, Umar menjawab, “Tidak sama, teman-teman kami yang meninggal tempatnya di surga sementara teman-teman kalian yang tewas di neraka.”[4] 

Setelah itu, kaum Quraisy meninggalkan Uhud dengan membawa barang-barang mereka, meninggalkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian para shahabat yang masih berada di bukit Uhud . Sepeninggal mereka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat mulai mencari para shahabat yang syahid. Dalam riwayat Imam Bukhâri disebutkan bahwa para shahabat yang syahid dalam peperangan itu sebanyak tujuh puluh orang sementara dari pihak lawan dua puluh tiga orang. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari jenazah paman beliau Hamzah bin Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu di lembah. Betapa sedih hati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika mendapati jenazah paman beliau dalam keadaan rusak, dimutilasi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau seandainya Shafiyah (saudari Hamzah) tidak bersedih dan (saya tidak takut) menjadi sunnah, maka sungguh saya akan biarkan dia sehingga di makan binatang buas atau burung.”[5] 

SYUHADA UHUD
Dalam riwayat Imam Bukhâri disebutkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dua syuhada’ dalam satu kafan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepada para shahabat, “Siapa yang paling banyak hapal al-Qur’an.” Jika Rasûlullâh diberitahu, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkannya terlebih dahulu ke liang lahat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Saya akan menjadi saksi bagi mereka pada hari kiamat.

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat agar menguburkan para syuhada’ itu dalam keadaan masih berlumuran darah, tidak dishalati dan tanpa dimandikan.[6]

Dalam riwayat Abu Daud dan ulama hadits lainnya disebutkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menguburkan para korban ditempat mereka meninggal, termasuk para syuhada’ yang terlanjur dibawa ke Madinah. mereka dikembalikan ke tempat wafatnya dan dikubur disana.[7] 

Setelah proses penguburan tuntas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para shahabatnya Radhiyallahu anhum kemudian memuji Allâh Azza wa Jalla serta beliau memanjatkan do’a kehadirat Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan kenikmatan dunia dan akhirat kepada mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendo’akan agar orang-orang kafir yang senantiasa mengangap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dusta agar dibinasakan.[8] 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitakan kepada kaum Muslimin keagungan ganjaran yang diraih oleh para syuhada’. Ketika mendengar tangis Fathimah binti Abdullah bin ‘Amr , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَلِمَ تَبْكِي فَمَا زَالَتْ الْمَلَائِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رُفِعَ 

Kenapa dia menangis ? Karena para malaikat senantiasa menaunginya dengan sayap-sayap mereka sampai dia diangkat[9] 

Dalam riwayat lain :
تَبْكِيهِ أَوْ لَا تَبْكِيهِ مَا زَالَتْ الْمَلَائِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ 

Ditangisi atau tidak ditangisi, para malaikat tetap menaunginya dengan sayap-sayap mereka sampai kalian mengangkatnya[10] 

Para syuhada’ Uhud inilah yang dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firmanNya :

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allâh itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Rabb mereka dengan mendapat rezki. [Ali Imran/3:169]

Dalam riwayat Imam Muslim[11] dijelaskan bahwa para shahabat menanyakan makna ayat ini keAbdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu beliau menjawab, "Kami pernah menanyakan hal itu, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : 

أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اطِّلَاعَةً فَقَالَ هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا قَالُوا أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا

Jiwa-jiwa mereka (para syuhada') itu berada dalam burung hijau yang memiliki lentera-lentera yang bergelantungan di 'Arsy. Burung-burung ini bebas terbang di surga kemudian kembali ke lentera-lentera itu. Kemudian Allâh Azza wa Jalla melihat mereka dan berfirman, "Apakah kalian menginginkan sesuatu ?" Mereka menjawab, "Apalagi yang kami inginkan sementara kami bebas terbang di surga kemanapun kami mau." Allâh mengulanginya sampai tiga kali. Ketika melihat bahwa mereka harus meminta, akhirnya mereka mengatakan, 

"Wahai Rabb, kam ingin Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami sehingga bisa terbunuh lagi dijalan-Mu sekali lagi. Ketika Allâh Azza wa Jalla melihat bahwa mereka tidak lagi punya keinginan, akhirnya ditinggalkan.



PASCA PERANG UHUD


Banyaknya kaum Muslimin yang syahîd (gugur sebagai syahîd) dalam perang Uhud membuat orang-orang kafir mengira mental kaum Muslimin down. Dugaan ini membuat mereka semakin berani dan lancang terhadap kaum Muslimin. Terbukti dengan beberapa peristiwa pasca perang Uhud.

1. Perang Hamrâ'ul Asad
Tidak lama setelah perang Uhud, kaum musyrikin berniat untuk menyerang kembali demi menghabisi kaum Muslimin. Ketika mendengar rencana buruk mereka ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi para shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam untuk menyongsong kedatangan musuh. Namun dalam perang kali ini, para shahabat yang diijinkan ikut hanyalah mereka yang sudah terjun dalam perang Uhud, kecuali Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhuma yang diijinkan ikut meski beliau Radhiyallahu anhu absen dalam perang Uhud karena saat itu bapaknya menugaskannyanya menjaga saudara-saudara perempuannya di Madinah. Mesti kondisi fisik para shahabat belum pulih pasca perang Uhud, namun mereka tetap taat terhadap perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berangkat sampai disuatu daerah yang bernama Hamra'ul Asad [2]. 

Tentang peperangan ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ 

(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar [Ali Imrân/3:172][3] 

Namun peperangan ini tidak berkecamuk, karena kaum kuffâr mengurungkan niatnya. Respon cepat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keberanian, kemampuan beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam dalam menanggung beban dan kemampuan politik beliau juga keperibadian beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mudah menyerah dalam kondisi sulit. Juga tanggapan positif para shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan betapa mereka sangat taat dan bergegas melaksanakan perinatah Allâh dan rasul-Nya juga menunjukkan kesabaran mereka dalam memikul beban. Ini yang dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿١٧٢﴾الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ﴿١٧٣﴾فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

"(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasûl-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) Orang-orang (yang mentaati Allâh dan Rasûl) yang dikatakan kepada mereka, "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka", Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, "Cukuplah Allâh menjadi penolong kami dan Allâh adalah Sebaik-baik Pelindung". Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allâh, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allâh. Dan Allâh mempunyai karunia yang besar." [Ali Imrân/3:172-174]

2. Pasukan (Sariyah) Abi Salamah Radhiyallahu anhu 
Berita tentang perang Uhud telah tersebar dan terdengar oleh kaum musyrik yang tinggal di sekitar Madinah. Ini mendorong Thulaihah al Asadi dan saudaranya Salamah memobilisasi Bani Asad bin Khuzaimah untuk melakukan penyerangan ke Madinah. Mereka ingin menguasai dan merebut kekayaan Madinah serta menampakkan dukungan mereka kepada Quraisy dalam memusuhi kaum Muslimin. Untuk memuluskan ambisi ini, mereka melakukan berbagai persiapan. 

Namun sebelum bergerak melakukan penyerangan, rencana busuk mereka ini sudah terdengar oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam segera memberikan respon dengan mengirim seratus lima puluh pasukan gabungan dari kaum Muhâjirîn dan Anshâr dibawah pimpinan Abu Salamah bin Abdul Asad Radhiyallahu anhu. Pasukan ini segera bergerak melakukan penyerangan ke daerah Qathan, tempat pasukan Thulaihah. Pasukan Thulaihah lari ketakutan meninggalkan berbagai harta yang mereka miliki. Akhirnya harta ini diambil oleh pasukan kaum Muslimin dibawa ke Madinah. 

Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Muharram di penghujung tahun ke-3 hijrah.

3. Pasukan Abdullah bin Unais 
Dalam waktu yang tidak berselang lama dengan pengiriman pasukan Abu Salamah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh juga mengirim pasukan ke Arafah. Disana ada Khâlid bin Abu Sufyân bin Nubaih al Hudzali yang tengah mengerahkan massa untuk menyerang Madinah. Pasukan kaum Muslimin ini dipimpin oleh Abdullah bin Unais al Jumahi. Sebelum mulai bergerak, Abdullâh bin Unais Radhiyallahu anhu terlebih dahulu meminta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjelaskan ciri-ciri Khâlid bin Sufyân bin Nubaih, sang provokator. Setelah dirasa cukup penjelasan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu memimpin pasukannya untuk bergerak. Saat melihat orang yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan penjelasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu segera mengatur strategi untuk menyerangnya. 

Beliau Radhiyallahu anhu berhasil menyusun strategi dan akhirnya beliau Radhiyallahu anhu berhasil mengakhiri hidup Khâlid. Beliau Radhiyallahu anhu kembali ke Madinah dan melaporkan keberhasilannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan tugas yang diembannya. Namun sebelum sempat berbicara, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah bisa membaca dari rona wajah Abdullâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak beliau Radhiyallahu anhu masuk rumah dan memberikannya tongkat yang dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tongkat ini akan menjadi bukti pada hari kiamat. Demi mengetahui fungsi tongkat ini, Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu menjaga tongkat pemberian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafat dan tongkat itu ditanam bersama jasad beliau Radhiyallahu anhu[4].

Pengikut Khâlid bin Sufyân al Hudzali tidak bisa menerima kematian komandan mereka dan berniat membalas dendam. Inilah yang mendorong mereka untuk menempuh cara licik. Pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijrah utusan dari kabilah 'Udhal dan al-Qarrah mendatangi Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Mereka meminta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengirim beberapa shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajari mereka agama ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim sepuluh[5] shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam dibawah pimpinan 'Ashim bin Tsâbit al-aqlah Radhiyallahu anhu. Para shahabat yang terpilih ini mulai melakukan perjalanan tanpa ada rasa curiga. 

Ketika tiba di lembah antara 'Asfân dan Makkah, kedatangan mereka diberitahukan kepada penduduk salah satu kampung Hudzail yaitu Banu Lihyân. Bani Lihyaan tidak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk membalas kematian komandan mereka. Mereka mengerahkan ratusan pasukan dan membuntuti para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sampai berhasil menyusul mereka. Menyadari bahaya yang sedang mengancam, 'Ashim bin Tsâbit Radhiyallahu anhu beserta para shahabat lainnya segera menyelamatkan diri dengan mengambil posisi di atas bukit. 

Namun karena kalah jumlah, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terkepung. Ketika itu para pengepung ini memberikan janji, "Jika kalian mau turun, maka kami berjanji tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian." Ashim Radhiyallahu anhu yang diangkat oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan bertekad, "Saya tidak sudi turun dan berada dalam jaminan orang kafir." Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berdo'a, "Ya Allâh, beritahukanlah kepada nabi-Mu tentang keadaan kami." Ucapan ini menyulut emosi para pengepung dan mendorong mereka melakukan penyerangan sehingga akhirnya 7 diantara para shahabat ini, termasuk Ashim Radhiyallahu anhu gugur sebagai syahîd dalam pertempuran ini. Dengan demikian, tersisa tiga orang yaitu Khubaib, Zaid dan satu orang lagi (dalam riwayat Ibnu Ishaq, orang ini adalah Abdullah bin Thariq).

Para pengepung ini mengulangi janji mereka. Mendengar janji manis ini, para shahabat yang tersisa menerimanya dan turun mengikuti kemauan mereka. Namun ketika para shahabat ini sudah berada dalam kekuasaan mereka, mereka mengingkari janji. Para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ini diikat. Orang ketiga (yang bernama Abdullah bin Thâriq, sebagaimana riwayat Ibnu Ishâq) tidak terima dengan pengkhianatan ini dan beliau Radhiyallahu anhu berontak tidak mau mengikuti kemauan musuh-mush Islam ini, akhirnya beliau Radhiyallahu anhu dibunuh. Tinggallâh Khubab bin 'Adiy dan Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhuma yang menjadi tawanan. Keduanya digiring ke Mekah dengan tangan terikat lalu dijual ke kaum Quraisy. 

Khubaib dibeli oleh Bani al Hârits bin 'Amir bin Naufâl untuk dibunuh sebagai balasan atas terbunuhnya Hârits. Hârits sendiri terbunuh dalam perang Badar oleh Khubaib Radhiyallahu anhu. Bani Hârits mengurung Khubaib Radhiyallahu anhu sampai ada kesepakatan diantara mereka untuk mengeksekusinya. Pasca munculnya kesepakatan ini, suatu saat Khubaib Radhiyallahu anhu meminjam pisau ke salah seorang wanita Bani Hârits dan beliau Radhiyallahu anhu diberi pinjaman. Pada saat yang sama, sang wanita yang telah meminjamkan pisau ke Khubaib Radhiyallahu anhu ini agak lengah dalam menjaga anaknya. 

Sang anak berjalan menuju Khubaib Radhiyallahu anhu lalu duduk tenang di pangkuannya. Menyadari anaknya sedang berada di pangkuan tawanan dengan pisau tajam di tangan, sang ibu terperanjat. Dia sangat mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Dia takut Khubaib Radhiyallahu anhu membunuhnya sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. Melihat gelagat ini, shahabat yang mulia Khubaib mengatakan, "Apakah anda khawatir aku akan membunuhnya ? Insya Allâh, Aku tidak akan pernah melakukan itu." 

Perempuan inilah yang mengatakan, "Aku tidak pernah melihat tawanan yang lebih baik daripada Khubaib Radhiyallahu anhu . Saya pernah melihat dia memakan setangkai anggur padahal kala itu di Mekah tidak ada buah-buahan dan dia pun sedang dalam keadaan terbelenggu rantai besi. Ini tiada lain hanyalah rizki dari Allâh Azza wa Jalla ." Lalu Bani Hârits membawa Khubaib Radhiyallahu anhu keluar dari daerah haram untuk di eksekusi. Ketika hendak dibunuh, Khubaib Radhiyallahu anhu meminta kepada mereka, "Ijinkan aku shalat dua raka'at !" 

Setelah mendapatkan ijin, beliau Radhiyallahu anhu shalat dua raka'at. Setelah itu, beliau Radhiyallahu anhu menoleh kearah orang-orang yang akan mengeksekusi beliau Radhiyallahu anhu sambil mengatakan, "Seandainya aku tidak khawatir kalian akan menduga bahwa apa yang lakukan ini hanyalah karena takut mati, maka tentu saya shalat lebih dari dua raka'at." Jadilah Khubaib Radhiyallahu anhu orang pertama yang melakukan shalat dua raka'at ketika hendak akan dibunuh. Beliau Radhiyallahu anhu berdo'a, "Wahai Allâh, hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka dan janganlah engkau menyisakan seorangpun dari mereka." Beliau Radhiyallahu anhu juga membacakan syair, sebelum akhirnya dihampiri oleh Uqbah bin Hârits sang eksekutor dan dibunuhlah Khubaib Radhiyallahu anhu.[6] .

Diatas dijelaskan bahwa Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhu dan Khubaib Radhiyallahu anhu dibawa ke Mekah dalam keadaan terborgol lalu dijual. Khubaib Radhiyallahu anhu dibeli Bani Hârits, sedangkan Zaid Radhiyallahu anhu dibeli Shafwân bin Umayyah untuk dibunuh sebagai tebusan atas tewasnya Umayyah bi Khalaf dalam perang badar. Saat beliau Radhiyallahu anhu digiring ke Tan'im meninggalkan tanah haram, ada beberapa orang Quraisy sedang berkumpul, salah satunya adalah Abu Sufyân. Abu Sufyân mengatakan, "Wahai Zaid, dengan nama Allâh, aku mau bertanya kepadamu, 'Apakah engkau mau, posisimu saat ini diganti oleh Muhammad untuk kami penggal lehernya sementara engkau berada di tengah keluargamu ?" mendengar pertanyaan ini, Zaid menjawab, "Demi Allâh, saya tidak mau (mendengar atau melihat) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditempatnya sekarang ini terkena duri yang menyakitinya, sementara saya duduk-duduk di tengah keluargaku." Abu Sufyân mengatakan, "Saya belum pernah melihat seseorang yang mencintai orang lain seperti cinta para shahabat nabi kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam ." Kemudian beliau Radhiyallahu anhu dibunuh.[7] 

Begitulah akhir keidupan para shahabat yang diutus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan agama ini kepada manusia. Bukan suatu yang mudah untuk mendakwahkan ajaran ini kala itu. Bahaya yang selalu mengintai menuntut pengorbanan bahkan pengorbanan nyawa. 

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membuka hati kita dan akal pikiran untuk bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah para Salafus Shalih.





[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Sirah Nabawiyah di Dhau'il Mashaadiril ashliyah, hlm. 407-412 dan as-Sisatun Nabawiyyah as-shahihah, hlm.398 - 400
[2]. Suatu daerah yang berjarak kurang lebih 8 mil dari Madinah kearah Dzal Hulaifah.
[3]. HR Imam Bukhari, no. 4077, Muslim, no. 2418.
[4]. Riwayat ini kami bawakan dengan ringkas, bagi yang ingin melihat kisah ini selengkapnya bisa melihatnya pada riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah dalam Sirah Ibnu Hisyâm 4/354-355 dengan sanad mun'qathi'. Baihaqi membawakannya dengan sanad lengkap tanpa putus dalam ad-Dalâ'il, 4/42-43 juga dalam as-Sunan dan sanadnya hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad dengan sanad yang sama; Abu Daud dalam as-Sunan, no. 2249 tanpa kisah tentang tongkat yang dikubur dan sanad beliau ini sama dengan sanad Ibnu Ishâq. Ibnu Hajar menilai sanadnya hasannya dalam kitab al-Fath, 15/260, Kitâbul Maqhâzi, Bab Ghazwati Rajî'. Lihat Sirah Nabawiyah di Dhau'il Mashaadiril ashliyah, hlm. 409
[5]. Ibnu Ishâq rahimahullah mengatakan, "Jumlah para shahabat yang dikirim itu enam orang." Sementara Musa bin Uqbah rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah mereka adalah tujuh.
[6]. Sebagian besar kisah ini ada dalam riwayat Imam Bukhari, al Fath, no. 4086
[7]. Ibnu Ishâq rahimahullah dengan tanpa sanad (Ibnu Hisyâm, 3/245); Ibnu Sa'd, 2/56 lewat jalur periwayatan Ibnu Ishâq dengan periwayatan yang mursal.


Demikianlah Artikel

Sekianlah artikel kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.