loading...

NASAB DAN KETURUNAN KELUARGA BESAR NABI - Hallo sahabat Pahala Online, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul NASAB DAN KETURUNAN KELUARGA BESAR NABI, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Kisah Rasulullah, Artikel Sejarah Islam, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.



Judul : NASAB DAN KETURUNAN KELUARGA BESAR NABI
link : NASAB DAN KETURUNAN KELUARGA BESAR NABI

Baca juga


NASAB DAN KETURUNAN KELUARGA BESAR NABI

NASAB DAN KELUARGA BESAR NABI

 

Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam


Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi ke dalam tiga klasifikasi: Pertama, yang disepakati oleh ahlus Siyar wal Ansaab (Para Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan nasab beliau hingga kepada Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan yaitu urutan nasab beliau dari atas Adnan hingga Ibrahim 'alaihissalam. Ketiga, yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak shahih, yaitu urutan nasab beliau mulai dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam 'alaihissalam. Dan berikut ini penjelasan detail tentang ketiga klasifikasi tersebut:

Klasifikasi Pertama:  Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib (nama aslinya; Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru) bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah) bin Qushai (nama aslinya: Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr (julukannya: Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya: 'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.

Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad bin Humaisa' bin Salaaman bin 'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin Maakhi b in 'Iidh bin 'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin 'Uudhah bin 'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.

Klasifikasi Ketiga: ( dari urutan nasab kedua klasifikasi diatas hingga keatas Nabi Ibrahim ) yaitu, Ibrahim 'alaihissalam bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu' atau Saaruugh bin Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh 'alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang mengatakan bahwa dia adalah Nabi Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin Qainaan bin Aanuusyah bin Syits bin Adam 'alaihissalam.


Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam


Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lebih dikenal dengan sebutan al-Usrah al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin 'Abdu Manaf), oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung tentang kondisi Hasyim ini dan orang-orang setelahnya dari keluarga besar beliau Shallallahu 'alaihi wasallam :

Hasyim : Adalah orang yang bertindak sebagai penanggung jawab atas penanganan air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan (arRifadah) terhadap Baitullah dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi perundingan antara Banu 'Abdi Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam masalah pembagian kekuasaan antar kedua belah pihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang baik dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan makanan berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama aslinya adalah 'Amru, adapun dia dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang meremuk-remukan roti (sesuai dengan arti kata Hasyim dalam Bahasa Arab). Dia juga lah orang pertama yang mencanangkan program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus Syitaa' ; bepergian di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di musim panas (sebagaimana dalam surat Quraisy ayat 2).

Suatu hari Hasyim pergi ke kota Syam untuk berdagang, namun ketika sampai di Madinah dia menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, salah seorang puteri 'Uday bin an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan 'Abdul Muththalib). Hasyim akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di tanah Palestina. Isterinya, Salma melahirkan puteranya, 'Abdul Muththalib pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya dengan Syaibah karena tumbuhnya uban (yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah") di kepalanya. Syaibah dibesarkan di Yatsrib sedangkan keluarganya (kelaurga besar Hasyim) yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu tentang dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri. Keempat puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan Syaibah ('Abdul Muththalib). Sedangkan kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah.

al-Muththalib : Setelah Hasyim meninggal tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah dan ar-Rifadah diserahkan kepada saudaranya, al-Muththalib bin 'Abdu Manaf {Dia adalah orang yang ditokohkan, disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan alFayyadh karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa Arab adalah yang murah hati)}. Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja sekitar usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar berita tentang dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan dinaikkannya ke atas tunggangannya dan memboncengnya namun cucunya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Kakeknya, al- Muththalib kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya membawa serta cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut. AlMuththalib lantas bertutur: "sesungguhnya Syaibah akan ikut bersamaku menuju kekuasaan yang diwarisi oleh ayahnya (Hasyim), menuju Tanah Haram Allah". Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Syaibah dibonceng oleh kakeknya, al-Muththalib dengan menunggangi hewan tunggagan miliknya.

Kemudian sesampainya dikota Makkah orang orang mengira bahwa Mutholib membawa seorang budak hamba sahaya  yang ingin dijadikan pembantu, padahal itu adalah yaibah keponakannya, lalu orang orang berteriak: "inilah 'Abdul Muthalib!" (makna dari kata abdul adalah hamba sahaya, jadi abdul mutholib maknanya hamba sahaya atau pembantu mutholib). Kakeknya, alMuthalib memotong teriakan tersebut sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini adalah anak saudaraku Hasyim (keponakanku)". Namun tetap saja orang orang itu memanggil Syaibah dengan panggilan 'Abdul Muththalib’ hingga sekarang ini. Akhirnya Abdul Mutholib tinggal bersama Al-Mutholib hingga tumbuh dan menginjak dewasa.

Al-Muthtthalib kemudian meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan kekuasaannya kemudian digantikan oleh cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia sangat bisjaksana terhadap kaumnya persis seperti nenek-nenek moyang dulu bahkan lebih; dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh mereka sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin besar.

'Abdul Muththalib : Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman 'Abdul Muththalib) menyerobot kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini menimbulkan amarahnya yang serta merta meminta pertolongan para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman (Naufal). Namun mereka menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan pamanmu itu". Akhirnya Abdul Mutholib menyurati paman-pamannya dari pihak ibunya, Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan memohon bantuan mereka. Paman Abdul Mutholib dari pihak ibu yaitu Abu Sa'd bin 'Uday bersama delapan puluh orang kemudian berangkat dari Yasrib menuju ke Makkah dengan menunggang kuda. Sesampai mereka di al-Abthah, sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh 'Abdul Muththalib yang langsung berkata kepada rombongan itu: "silahkan mampir ke rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi Allah, aku tidak akan (mampir ke rumahmu) hingga bertemu dengan Naufal", lantas rombongan itu mendatangi Naufal yang ketika itu sedang duduk-duduk di dekat al-Hijr (Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd (paman Abdul Mutholib dari garis ibu) langsung mencabut pedangnya seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)! Jika tidak engkau kembalikan kekuasaan anak saudari perempuanku (keponakanku) maka aku akan memenggalmu dengan pedang ini". Naufal berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapann Naufal ini disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah 'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama disana, rombongan dari yastrib melakukan umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam) kemudian pulang ke Madinah.

Setelah kejadian itu Naufal tidak tinggal diam, Naufal akhirnya bersekutu dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim keluarga Abdul mutholib. Suku Khuza'ah tergerak untuk menolong 'Abdul Muththalib. Mereka berkata kepada pihak lawan: "Abdul Muthalib juga merupakan anak keturunan kami seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal ini lantaran ibu dari 'Abdi Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah (nanti kita akan jelaskan kemudian).
Ada dua peristiwa besar yang terjadi atas Baitullah di masa 'Abdul Muththalib: Pertama, Penggalian sumur Zam-zam. Kedua, datangnya pasukan gajah.

Peristiwa pertama : 'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan untuk menggali kembali sumur Zam-zam yang sudah tertimbun dan diimpikan kepadanya dimana letaknya, lantas dia melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut) setelah penggalian dia menemukan didalamnya terdapat benda-benda yang terkubur saat dulu dikubur oleh suku Jurhum (suku istri dari Nabi Ismail) ketika mereka akan keluar meninggalkan Mekkah saat diusir pada masa peperangan; yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedangpedang kemudian dia jadikan sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan sebagai lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga menyediakan tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi para jama'ah haji.

Ketika sumur Zam-zam berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya. Mereka berkata kepada Abdul Mutholib: "ikutsertakan kami terhadap apa yang kamu dapatkan!". Dia menjawab: "aku tidak akan melakukannya sebab ini merupakan petunjuk secara khusus diberikan kepada aku". Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi menyeretnya ke pengadilan seorang dukun wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam namun dalam perjalanan mereka, bekal air pun habis lalu Allah turunkan hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun tercurah ke atas mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan kepada 'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka masing-masing tanpa harus melanjutkan kerumah dukun. Saat itulah 'Abdul Muththalib bernazar bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka sudah mencapai usia baligh, untuk menyembelih salah seorang dari mereka disisi Ka'bah.

Peristiwa kedua: Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa kerajaan anNajasyi di negeri Yaman merasa iri ketika melihat orang-orang Arab melakukan haji ke Ka'bah, dia juga membangun gereja yang amat megah di kota Shan'a'. Tujuannya adalah agar orang orang Arab mengalihkan haji mereka ke shan’a. Niat jelek ini didengar oleh seorang yang berasal dari Bani Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam memasuki gereja tersebut, lalu dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran. Tatkala mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000  personil) ke Ka'bah untuk meluluhlantakkannya. Dia juga memilih gajah paling besar sebagai tunggangannya. Dalam pasukan tersebut terdapat sekitar sembilan ekor gajah (dalam riwayat lain tiga ekor). Dia meneruskan perjalanannya hingga sampai di al-Maghmas dan disini dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan gajahnya dan bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi baru saja mereka sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau lagi berjalan menuju Ka'bah dan enggan dikendalikan oleh mereka baik ke arah selatan, utara atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut, gajah berdiri dan berlari dan bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut duduk. Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas mereka burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Allah Ta'ala menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Burung tersebut seperti burung walet. Setiap burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di kedua kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu tersebut mengenai seseorang maka anggota-anggota badan orang tersebut akan lepas organ tubuhnya satu persatu (lalu hancur berkeping keping). Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut; ada yang dapat keluar melarikan diri tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalanjalan lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah kirimkan kepadanya satu penyakit yang membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal dan berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai Shan'a' maka dia tak ubahnya seperti seekor anak burung yang baru lahir, dadanya terbelah dan hatinya keluar, lalu kemudian dia roboh tak bernyawa.

Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka berpencar-pencar ke lerenglereng gunung dan bertahan di bukit-bukitnya karena merasa ngeri dan takut dengan kedatangan pasukan Abrahah tersebut akan menimpa keburukan terhadap diri mereka. Tapi manakala pasukan tersebut telah mengalami kejadian tragis dan mematikan tersebut, maka mereka turun gunung dan kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh hari atau lima puluh lima hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam; yaitu bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan Maret pada tahun 571 M. Peristiwa tersebut juga mengundang perhatian dunia saat itu dan memberikan isyarat kepada mereka akan kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai tempat suci.

'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar, al-'Abbas. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah dengan seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari nama-nama yang sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera lagi yang bernama 'Abdul Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak lain adalah al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla adalah al-Ghaidaaq dan tidak ada diantara putera-puteranya tersebut yang bernama Qutsam. Adapun puteriputerinya berjumlah enam orang, yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah, Arwa dan Umaimah.

Abdullah : 'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah bernama Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin 'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. 'Abdullah ini adalah anak yang paling tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib, yang paling bersih jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban yang dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas.

Cerita Qurban Nazar; ketika 'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera, dia kemudian memberitahu mereka(para putranya) perihal nazar tersebut sehingga mereka pun mentaatinya. Dia menulis namanama mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama 'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari pihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas, apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian datang kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha. Dan jika yang keluar atas nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban.

'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian (sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta, lalu begitu diundi keluarlah nama 'Abdullah; maka dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi maka yang keluar adalah nama 'Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia maupun binatang buas. Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu maka dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: "Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan sebagai sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il 'alaihissalam dan ayah beliau 'Abdullah.

Kemudian 'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya (Abdullah) seorang gadis bernama Aminah binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk wanita idola di kalangan orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayah Aminah adalah pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika sampai disana dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di Daar an-Naabighah al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu Abdullah baru berumur 25 tahun dan tahun meninggalnya tersebut adalah sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana pendapat mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia meninggal dua bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah adalah: lima ekor onta, beberap ekor kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama Barakah dan nama panggilannya adalah Ummu Aiman yang merupakan pengasuh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam.


Demikianlah Artikel

Sekianlah artikel kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.