loading...

Bank Syariah & Prinsip Menjaga Harta Nasabah - Hallo sahabat Pahala Online, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Bank Syariah & Prinsip Menjaga Harta Nasabah, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel PERBANKAN SYARIAH, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.



Judul : Bank Syariah & Prinsip Menjaga Harta Nasabah
link : Bank Syariah & Prinsip Menjaga Harta Nasabah

Baca juga


Bank Syariah & Prinsip Menjaga Harta Nasabah

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Sistem Keuangan berdasarkan Prinsip Syariah

Sistem keuangan merupakan tatanan perekonomian yang berperan pada berbagai aktivitas jasa keuangan dalam suatu Negara yang diselenggarakan oleh Lembaga Keuangan. Salah satu fungsi dasar Sistem Keuangan adalah memobilisasi dan mengalokasikan dana. Fungsi ini dikenal juga dengan istilah financial intermediary. Sistem Keuangan yang sesuai dengan Prinsip Syariah memiliki 2 prinsip utama (Andri Soemitra - Bank & Lembaga Kuangan Syariah ; 19), yaitu ; 
  1. Prinsip Syar’i, dan 
  2. Prinsip Tabi’i
Prinsip Syar’i merupakan prinsip yang diambil dari sumber-sumber hukum syariah yaitu Qur’an, Sunnah dan Ijtihad Ulama (ijma, qiyas, dll). Prinsip Tabi’i merupakan prinsip yang diperoleh dari pengalaman dan hasil akal fikir manusia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi (baca : keuangan dan bisnis) yang terjadi. 

Prinsip Syar’i meliputi ; kebebasan bertransaksi, kesetaraan dalam transaksi, keadilan dan saling menguntungkan (lawan dari kedzaliman), tranparansi informasi (lawan dari asimetri informasi), kemaslahatan transaksi dan objek transaksi termasuk terhadap pihak ketiga, bebas judi, bebas riba, bebas dari ketidak jelasan kualitas, kuantitas dan mekanisme transaksi, bebas dari paksaan, bebas dari manipulasi kualitas, kuantitas dan mekanisme transaksi serta implementasi terhadap zakat. Sedangkan, Prinsip Tabi’i meliputi ; tata kelola keuangan dan bisnis yang baik, pengendalian dan pengelolaan terhadap risiko keuangan dan bisnis, kehati-hatian dalam penyelenggaraan aktivitas keuangan dan bisnis, sensitivitas terhadap pasar yang selalu berkembang dinamis dan lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan keuangan dan bisnis.


Eksistensi Perbankan Syariah Dalam Sistem Keuangan Indonesia

Jamak diketahui bahwa financial intermediary merupakan bisnis utama (core business) dari industri Perbankan termasuk Perbankan berdasarkan Prinsip Syariah. Legitimasi bisnis yang dijalankan oleh Perbankan Syariah dalam Sistem Keuangan Indonesia “dikuatkan kembali” dengan terbitnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008). Sebelum terbitnya UU No. 21 Tahun 2008, payung hukum keberadaan Perbankan Syariah dianggap lemah. Eksistensi Perbankan Syariah hanya mengacu 1 ayat pada pasal dalam peraturan yang mengatur tentang perbankan. 

Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan (UU No. 7 tahun 1992) pada pasal 1 ayat 12 dinyatakan : 

”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan;” 

Definisi kredit yang dirumuskan dalam ayat ini memunculkan istilah pembagian hasil keuntungan dimana hal ini merupakan substansi dari bisnis perbankan syariah yang berorientasi hasil keuntungan yang jamak dikenal sebagai imbal hasil atau bagi hasil. Rumusan secara langsung telah mengakomodir berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia sebagai Bank Umum Syariah pertama di Indonesia pada 1 November 1991 atau 24 Rabi’us Tsani 1412 H atau 4 bulan sebelum diundangkankanya UU No. 7 tahun 1992. 

Beberapa tahun kemudian (+ 6 tahun), Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan (UU No. 10 tahun 1998) resmi diundangkan pada 10 November 1998 oleh Pemerintah. Melalui UU No. 10 tahun 1998, angin segar eksistensi Perbankan Syariah dalam Sistem Keuangan Indonesia mulai terasa. Pada Pasal 1 ayat 3 terdapat kata “Prinsip Syariah” dalam pengaturan perbankan dimana dinyatakan ;

“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;”


Prinsip Menjaga Harta Nasabah

Bank Syariah, sebagaimana bank pada umumnya, merupakan badan usaha yang berfungsi sebagai financial intermediary melalui kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Di samping tunduk pada azas prinsip syariah dan demokrasi ekonomi, Bank Syariah dalam menjalankan kegiatannya juga harus mengedepankan prisip kehati-hatian. Ketiga hal ini (prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian) menjadi asas Bank Syariah sebagaimana amanat dari UU No. 21 Tahun 2008.

Pada sisi penghimpunan dana, Bank Syariah merupakan patner dari Shahibul Maal (Nasabah) yang memperoleh mandat pengelolaan harta syirkah (mudharabah) atau lebih familiar disebut mudharib. Bank Syariah juga memiliki peran sebagai penjaga dana titipan nasabah dan wajib mengembalikannya. Pada sisi penyaluran dana, Bank Syariah atas mandat yang diperoleh dari Shahibul Maal (Nasabah) dan Amanah Titipan dari Nasabah Penitip, menjalankan fungsinya sebagai manajer investasi dengan mengalokasi dana kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan melalui tiga prinsip utama ; jual beli, sewa dan kerjasama. Dalam literatur akademis, peran ini lazim disebut sebagai Fungsi Manajer Investasi pada Bank Syariah.

Bank Syariah wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya (pasal 36 UU No. 21 Tahun 2008). Baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana.

Bank Syariah sebagai Manajer Investasi, dituntut harus mampu berkerja dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi agar dapat terhindar dari kerugian bisnis yang pada akhirnya berdampak negatif secara tidak langsung terhadap kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dalam bentuk pembiayaan merupakan harta milik Shahibul Maal (Nasabah) dan Nasabah Penitip yang wajib dikembalikan kepada mereka. 

Merujuk pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang disahkan melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 2008 dinyatakan :
  • “Mudharib tidak boleh menghibahkan, menyedekahkan, dan/atau meminjamkan harta kerjasama, kecuali bila mendapat izin dari pemilik modal.” [buku II tentang akad pasal 240, Kencana PPHIMM].
Catatan : Mudharib adalah Pengelola Harta dalam hal ini Bank Syariah dan Pemilik Modal adalah Shahibul Maal dalam hal ini Nasabah Penghimpunan Dana.

  • “Mustaudi’ tidak boleh mengalihkan objek wadi’ah kepada pihak lain tanpa seizin muwaddi’. [buku II tentang akad pasal 423, Kencana PPHIMM].
Catatan : Mustaudi’/Mustauda’ adalah Penerima Titipan dalam hal ini Bank Syariah dan Muwaddi’ adalah Penitip dalam hal ini Nasabah Penghimpunan Dana.

Dalam asas pemberian pembiayaan yang sehat, Bank Syariah harus memperhatikan Jaminan Pemberian Pembiayaan  dalam arti Bank syariah harus mendapatkan keyakinan yang mendalam atas kemauan (itikad baik) dan kemampuan Calon Nasabah/Nasabah membayar kembali atau melunasi pembiayaan sesuai waktunya. (Penjelasan Pasal 8 ayat 1 UU No. 10 Tahun 1998 dan Pasal 69 UU No. 21 Tahun 2008) 

Terdapat 5 aspek yang menjadi perhatian Bank Syariah saat melakukan analisa kelayakan pembiayaan yaitu ; karakter/watak, kemampuan, modal, prospek usaha dan agunan. Jalan keluar pertama (first way out) dari asas pembiayaan yang sehat adalah analisa terhadap karakter/watak, kemampuan, modal dan prospek usaha. Sedangkan, Jalan keluar kedua (second way out) dari asas pembiayaan yang sehat adalah analisa terhadap Agunan (Pasal 23 UU No. 21 Tahun 2008). Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Pembiayaan. (Pasal 1 ayat 26 UU No. 21 Tahun 2008).

Penilaian watak calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara Bank Syariah dan Nasabah atau calon Nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah Penerima Fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak menyulitkan Bank Syariah di kemudian hari.

Penilaian kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama Bank harus meneliti tentang keahlian Nasabah Penerima Fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau kemampuan manajemen calon Nasabah sehingga Bank Syariah merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.

Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon Nasabah Penerima Fasilitas, terutama Bank Syariah harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon Nasabah Penerima Fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon Nasabah yang bersangkutan.

Dalam melakukan penilaian terhadap Agunan, Bank Syariah harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai Agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila Nasabah Penerima Fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, Agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali Pembiayaan dari Bank Syariah yang bersangkutan.

Penilaian terhadap proyek usaha calon Nasabah Penerima Fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon Nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan.

Bank Syariah sejatinya bertindak berdasarkan mandat dari pemilik dana sesungguhnya yaitu Nasabah. Modal Mudharabah dan Dana Titipan Nasabah merupakan amanah yang harus dikelola dengan baik. Penerapan asas-asas pemberian pembiayaan yang sehat secara konsisten merupakan bentuk pertanggung jawabannya sebagai Penjaga Harta Nasabah.


Wallahu a'lam

Wallâhu al-Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq



Demikianlah Artikel

Sekianlah artikel kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.