loading...

Huruf [ ﺡ ] Di antara Dua Riba - Hallo sahabat Pahala Online, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Huruf [ ﺡ ] Di antara Dua Riba, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel FIQH MUAMALAH, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.



Judul : Huruf [ ﺡ ] Di antara Dua Riba
link : Huruf [ ﺡ ] Di antara Dua Riba

Baca juga


Huruf [ ﺡ ] Di antara Dua Riba

Tanggapan Terhadap Resensi Buku RumayshoCom

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Jika Ilmu yang luas ditampung oleh akal dan hati yang sempit, maka yang muncul bukanlah kerendahan hati. 

“Aku lebih menghargai orang beradab daripada orang berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya dari pada manusia” begitulah Nasehat KH. Maimun Zubair.

MARI BERPIKIR

 Beda gak antara bunga bank plecit dan bagi hasil ?
Ini pesan seseorang yang dikirimkan pada kami ?

Ustadz …
Saya pernah dialog dengan seorang tukang tambal ban di B** Syariah.
Beliau cerita dan curhat

Tukang tambal: "Mas, gak ada beda aslinya antara yg syariah dan plecit. Sama-sama ada tambahan klo kita hutang. Bedane hanya istilah. Bank plecit ngomong ini bunga. Bank syariah ngomong dengan bahasa syar’i. Tapi prakteknya sama. Ada tambahan klo hutang"

Apakah istilah bisa mengubah menjadi syar'i klo dalam prakteknya sama ?
Misal bank plecit hutang 1jt balikin 1.1jt.

B** syariah hutang 1jt balikin 1.1jt tapi 100rb disebut bagi hasil
CERDAS BUKAN TUKANG TAMBAL BAN ?

Cerita di atas memberi gambaran bahwa Tukang Tambal Ban dan Lawan Bicaranya sama – sama tidak punya pengetahuan mendalam tentang apa yang mereka bicarakan.

Tukang Tambal Ban hanya fokus pada teknis matematis. Diberi uang 1 Juta kembalikan 1,1 juta. Lawan Bicara pun kurang cerdas dalam menganalisis informasi yang diterimanya. Kalau ia cerdas, semestinya dialog akan berubah menjadi seperti ini :

Tukang tambal: "Mas, gak ada beda aslinya antara yg syariah dan plecit. Sama-sama ada tambahan klo kita hutang. Bedane hanya istilah. Bank plecit ngomong ini bunga. Bank syariah ngomong dengan bahasa syar’i. Tapi prakteknya sama. Ada tambahan klo hutang"

Lawan Bicara: "Pada waktu mas tanda tangan kontrak, mas baca tidak itu kontrak tentang apa ? Bener hutang (pinjam meminjam), jual beli atau sewa ? coba dicek lagi mas ! saya ga mungkin bisa komentar kalau ceritanya ga komplit.

Dalam Qur’an dijumpai kisah tentang suatu kaum yang menganggap jual beli sama dengan ribâ. Allâh subhânahu wa ta’âla berfirman ;
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [QS. Al-Baqarah (2) : 275]

Kita tidak menuduh Tukang Tambal Ban dan Lawan Bicara tadi adalah kaum ngeyeliyyun sebagaimana dimaksud ayat di atas. Kita juga tidak boleh lebay mengatakan mereka adalah bagian dari konspirasi global untuk menghambat perkembangan Bank Syariah di Indonesia.

Kesalahan persepsi akan terjadi jika pemahaman ribâ berhenti pada etimologi / kebahasaan, sebab ribâ secara bahasa berarti tambahan (al-ziyâdah) [al-Zuhailiy, Jil 4, hal 435]. Keuntungan hutang - piutang merupakan pertambahan harta dari pokok pinjaman. Keuntungan jual beli merupakan pertambahan harta dari pokok modal (barang). Sama-sama bertambah, bukankah yang bertambah itu ribâ ?

Ayat di atas berlanjut dengan ketetapan bahwa Allâh subhânahu wa ta’âla menghalalkan jual beli dan mengharamkan ribâ.

Dalam literatur Islam huruf pembentuk kata ribâ adalah ; ra [], bab []dan alif [[al-Zuhailiy, Jil 4, hal 434] dan [al-Shanâni, Jil 3, hal 49]. Abaikan huruf alif [] dan lam [] yang ada sebelum kata ribâ karena itu merupakanpenanda isim ma’rifat.
Sekarang bandingkan dengan kata ribhun, yang berarti keuntungan [al-Zuhailiy, Jil 4, hal 491]. Huruf yang membentuk ribhun adalah ra [] , bab [] dan ha [].
Berdasarkan analisis huruf ini, kita bisa membuat premis percobaan bahwa riba dengan tambahan huruf ha [] halal sedangkan riba dengan tambahan huruf alif [] haram. Bukahkah begitu ? Cobalah renungkan !

Penulis tidak bermaksud mengajak Anda untuk menjadi ahli tafsir liar terhadap huruf. Melainkan sekedar memberi alternatif permisalan lain dari realita yang pernah diangkat dalam tulisan “Antara Ribâ, Bunga, Bonus dan Bagi Hasil, Sebuah Pesan Kepada Pencari Kebenaran”. Ini juga menjadi jawaban bahwa "Istilah" memang bisa mengakibatkan perubahan status hukum. Istilah itu mengandung suatu perspektif. Bagi yang keberatan dengan permisalan Nikah dan Zina dalam persoalan ribâ, maka bisa menggunakan permisalan ini.   
           
Huruf ha [] lah yang menjadi titik halal di antara 2 riba.   
          
Tahukah Anda ada ‘ulama yang mengkaji Riba Haram dan Riba Halal ? 

Kendalikan dahulu pikiran dan emosi, bukalah buku Fikih Mu’amalah Maliyyah JilidPrinsip-Prinsip Perjanjian karya Prof Dr. H. Jaih Mubarak dan Dr. Hasanuddin hafizhahumâllâh yang mengulas lebih detail tentang Ribâdibanding Buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh yang penulis miliki. 

Buku Fikih Mu’amalah Maliyah karya Prof Dr. H. Jaih Mubarak dan Dr. Hasanuddin hafizhahumâllâh sudah melalui proses review yang ketat. Setidaknya diketahui dari 10 Pembaca Ahli buku sebanyak 5 jilid tersebut, yaitu ; Dr. Anwar Abbas, KH. Mahmud Ali Zein, Prof. Dr. H. Fatchurrahman Djamil, Prof. Dr. H. Ahmad Rafiq, Ir. H. Adiwarman Karim, MAEP, MBA, Prof. Dr. H. Amyur Nuruddin, Dr. H. Atang Abd. Hakim, Prof. Dr. H. Arfin Hamid, Dr. H. Ahmad Sukarni dan Dr. Muhammad Iqbal hafizhahumullâh.

Ada sebagian ‘ulama berkumpul dalam suatu majlis. Mereka mencoba memahami dalil untuk kemudian menterjemahkan huruf ha [] agar menjadi fatwa pedoman bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Sementara, ‘Ulama lain mengkritisi pedoman tadi juga dengan menggunakan analisis dalil yang tidak kalah hebat Arab-nya untuk menterjemahkan huruf ha [] menurut perspektifnya.

Di tengah perbedaan itu, masyarakat pun terbelah menjadi 2 (dua) kubu dengan motif berbeda-beda. Misalnya ; dakwah amar ma’ruf, dakwah nahi munkar, mempertahankan lahan nafkah, sakit hati, hatinya sakit, jualan buku, jualan seminar, cari pengaruh, cari pendukung, baper (bawa perasaan) kalah dalil atau berbagai motif lainnya. Di antara semua itu, dimana kah kita berada ? Cobalah renungkan !  

Sebagian kita menjadi saksi perdebatan medsos versi kelas bulu ini betul terjadi. Namun, yang membuat prihatin adalah perdebatan tentang huruf ha [] justru menghasilkan bullying, hardik/celaan, klaim paling murni, klaim paling shahih, klaim paling berjasa bahkan dengan ringannya jari jemari mereka mengetik kalimat cela kepada ‘Ulama yang notabene berkumpul dalam suatu majelis. Tulisan ini pun terpaksa lahir dari realita tersebut.


Pesan Kepada Pencari Kebenaran 
Isi hati seseorang akan menentukan sikapnya dalam berprasangka dan tutur kata. Orang yang isi hatinya baik, akan berprasangka dan bertutur kata baik. Dan demikian pula sebaliknya”.[Kyai Muhammad Idrus Ramli hafizhahullâh]

Teringat kepada Pesan Pak Ustadz sendiri :
Semakin maju zaman, semakin manusia menjauh dari akhlaq yang mulia. Perangai jahiliyah dan kekasaran masih meliputi sebagian kaum muslimin. Padahal Islam mencontohkan agar umatnya berakhlaq mulia, di antaranya adalah dengan bertutur kata yang baik. Akhlaq ini semakin membuat orang tertarik pada Islam dan dapat dengan mudah menerima ajakan. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita perangai yang mulia ini.
---
Hendaknya kita bisa memperhatikan perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati.

Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Dakwah tentang ribâ dengan kalimat yang menabrak norma kesantunan dan keadaban tidak akan pernah melahirkan solusi untuk bekal instropeksi. Akan tetapi hanya melahirkan tuduhan sumber kegaduhan.

Kepada sahabat-sahabat praktisi LKS, ditengah berbagai tuduhan yang datang dari radikal kiri, radikal kanan maupun radikal bebas, tetaplah semangat untuk menjalankan bisnis keuangan syariah. Jika nampak kekurangan dari pelaksanaan khususnya pemenuhan aspek syariah, lapangkanlah dada untuk tetap berusaha melakukan perubahan dengan cara-cara yang benar. Perubahan yang Anda lakukan boleh jadi tidak dilihat Dunia, akan tetapi Allâh  subhânahu wa ta’âla Maha Melihat.

Kepada sahabat-sahabat yang sedang menghadapi permasalahan dengan LKS, saya mengerti posisi Anda karena saya pun juga beberapa kali bermasalah dengan LKS. Semoga Allâh subhânahu wa ta’âla melapangkan dada kita dalam menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi, sehingga kita terhindar dari mencaci sesuatu yang belum kita pahami secara utuh. Semoga ada jalan tengah yang saling menguntungkan dalam permasalahan kita.

Kepada sahabat-sahabat yang concern mengkritisi LKS ; Jika ada pemahaman   dari Ulama yang melarang suatu transaksi, maka hindari sikap mengkultuskan pemahamannya-lah yang paling shahih (kuat dan benar) sementara pemahaman ‘ulama lain syubhat. Sebab, Islam bukanlah manhaj olah raga yang harus selalu diselesaikan dengan predikat paling kuat dan paling-paling lainnya.

Ikuti dengan baik atau Tinggalkan tanpa hardik. Rubah dengan hati atau Diam tanpa caci. Itulah cara yang baik dalam menyikapi perbedaan. Itulah cara yang baik agar kesucian hati tetap terjaga di tengah perbedaan yang ada. Dakwah untuk mencegah kemungkaran jangan sampai menimbulkan kemunkaran lain.

“...jadi tidak ada yang tidak dosa diantara kita, semuanya pernah berdosa. Dan ada dosa yang lebih berat lagi adalah dosa hati. Penyakit Hati. Dosa di dalam hati ini lebih gede daripada urusan dhazir. Zina itu dhazir busuk kotor hina, makan riba itu dzahir busuk kotor hina. Jadi kalau ada orang yang makan riba itu memang busuk kotor, tapi jangan sampai kita merasa bersih juga jangan-jangan hati kita kotor, pendengki, pendendam segala macem yaa...” [Tausiyah Buya Yahya hafizhahullâh tentang Hukum Bank Konvensional https://www.youtube.com/watch?v=TniqhrDGrPYpada menit 2:26 – 3:02]


Pengakuan Seorang Santri
Penulis berterima kasih kepada asâtidz/ah Pondok Pesantren Dârul Muttaqien (Parung Bogor) yang telah mengajari makna “Bersatu dalam Aqidah, Toleransi dalam Khilafiyah, Berjamaah Dalam Ibadah” dan baru dipahami maksudnya setelah turun bermasyarakat.

Penulis berterima kasih kepada asâtidz/ah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Islamic Economics and FinanceUniversitas Trisakti, baik yang aktif di Dewan Syariah Nasional, Dewan Pengawas Syariah, Lembaga Keuangan Syariah, Konsultan, Asosiasi Pengacara Syariah dan lainnya. Saya memiliki kesan terhadap asâtidz/ah, bahwa asâtidz/ah tidak pernahberambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapat yang asâtidz/ah simpulkan dari analisis dalilAtas pembinaan, koreksi dan masukan asâtidz/ah kepada penulis, jazâkulmullâh khairal jazâ.

Wallâhu a'lam

Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq



Demikianlah Artikel

Sekianlah artikel kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.