loading...

LINGKARAN SETAN KPR DAN KEADILAN DALAM PELUNASAN PEMBIAYAAN MURABAHAH - Hallo sahabat Pahala Online, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul LINGKARAN SETAN KPR DAN KEADILAN DALAM PELUNASAN PEMBIAYAAN MURABAHAH, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel PERBANKAN SYARIAH, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.



Judul : LINGKARAN SETAN KPR DAN KEADILAN DALAM PELUNASAN PEMBIAYAAN MURABAHAH
link : LINGKARAN SETAN KPR DAN KEADILAN DALAM PELUNASAN PEMBIAYAAN MURABAHAH

Baca juga


LINGKARAN SETAN KPR DAN KEADILAN DALAM PELUNASAN PEMBIAYAAN MURABAHAH

Tanggapan Atas Tulisan "Lingkaran Setan KPR"

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Tanpa sengaja saya menemukan tulisan Nasabah suatu Bank yang diposting di media sosial yang cukup terkenal. Sebut saja samarannya sebagai ‘Andi’. Ia menulis keluhannya tentang KPR Bank dengan judul ‘Lingkaran Setan KPR’. Terbesit dalam hati ; ‘ini pasti komplain nasabah KPR salah satu Bank Konvensional’, sebab permasalahan yang dikeluhkan Andi adalah produk KPR tanpa frase iB. Akan tetapi Saya keliru. Membaca dengan seksama tulisan dan gambar yang diposting Andi, dapat disimpulkan bahwa Andi merupakan Nasabah KPR Bank Syariah.

Perlu diketahui bahwa 'iB' merupakan penanda bagi produk-produk yang dipasarkan Bank Syariah. Jika kita menemukan frase KPR iB pada selembar brosur promo, maka dapat dipastikan produk itu adalah pembiayaan properti Syariah.

Tulisan Andi cukup berani. Andi turut memposting secara langsung daftar angsuran KPR iB yang semestinya hanya bisa diketahui olehnya dan Bank Syariah. Sebagai sesama manusia, Saya turut merasakan ‘suara’ kekecewaan Andi terhadap produk dan cara marketing Bank Syariah tersebut. Saya berempati kepada Andi. Namun, entah mengapa empati saya mulai terkikis di saat membaca bagian akhir tulisannya. Nampaknya suara kekecewaan Andi berubah menjadi suara kebencian yang diutarakan secara “membabi-buta”, melalui kalimat yang sarkastik dan ajakan untuk meninggalkan Bank, termasuk Bank Syariah.

Keluhan Andi secara singkat dapat Saya deskripsikan sebagai berikut :
  1. Andi dan Bank Syariah menandatangani Perjanjian KPR iB Akad Murabahah untuk jangka waktu 15 tahun. Nilai pembiayaan Rp 380.000.000,00 sedangkan harga jual rumah dari Bank Syariah kepada Andi sebesar Rp 876.707.719,00 Jika dilakukan pemisahan pencatatan, maka Bank Syariah mengambil margin keuntungan atas transaksi KPR iB selama 15 tahun sebesar Rp 496.707.719,00 atau setara dengan 13,25% (rate of return - RR / prosentasi angka keuntungan)
  2. Angsuran bulanan KPR iB Andi adalah sebesar Rp 4.870.598,00. Dalam tulisannya, terdapat detail besaran penurunan cicilan pokok dan cicilan margin setidaknya selama bulan ke-1 sampai dengan bulan ke-29.
  3. Andi mengaku telah membayar angsuran selama 11 Bulan yaitu sekitar Rp 53.576.578,00. Pada saat Andi memeriksa penurunan pokok pembiayaan, ia dibuat kaget karena dalam 11 bulan pokok pembiayaan hanya berkurang sebesar Rp 7.092.991,00
  4. Andi sebetulnya sudah mengerti dan diberitahu oleh Bank Syariah bahwa mekanisme pengakuan pengurangan pokok dan margin seperti piramida terbalik (akan lebih besar porsi pembayaran cicilan marjin ketimbang cicilan pokok dari angsuran yang ia bayar dalam beberapa bulan). Namun, Ia menjelaskan bahwa dirinya tidak tahu detail berapa nilai dari pengurangannya itu. Entah Andi lupa atau pun memang benar tidak tahu, mungkin hanya Ia dan Tuhan yang bisa menjawab.
  5. Andi kemudian bertanya kepada Bank Syariah tentang jumlah kewajiban yang harus dibayar jika melakukan pelunasan dipercepat. Bank Syariah menyatakan bahwa sesuai akad Andi harus membayar sebesar Rp 823.131.136,00. Jumlah tersebut merupakan sisa angsuran pokok (Rp 372.907.009,00) dan sisa angsuran marjin (Rp 450.977.211,00). Andi kaget dan berkata “Wah gila ini !!! Artinya dilunasin atau ga saya harus tetap membayar sesuai hitungan kredit 15 tahun”.
  6. Bank Syariah sepertinya mencoba menenangkan Andi. Mereka memberikan penjelasan bahwa Andi dapat membayar sisa pokok (Rp 372.907.009,00) dengan tambahan 3 bulan marjin sebesar Rp 12.302.285. Kewajiban sebesar (3 kali marjin) ini diperoleh dari penjumlahan marjin bulan 12,13 dan 14 sebagaimana tercantum dalam gambar yang diposting.
Saya akan menganalisis Keluhan Andi secara berimbang. Saya berharap kepada Allah subhanahu wa ta'ala agar Andi dan Bank Syariah dimaksud dapat membaca tulisan ini.

Pembebanan Sisa Harga Jual (Sisa Pokok dan Marjin)

Ketika Andi melakukan pelunasan pembiayaan Murabahah sebelum jatuh tempo (dipercepat), maka Andi wajib membayar seluruh kewajiban angsuran (sisa pokok dan seluruh marjin terhutang). Adakah yang salah dan dilanggar Bank Syariah ?,

Jika menggunakan pendekatan prinsip syariah dan/atau legal formal, maka tidak ada yang salah dan juga tidak ada yang dilanggar oleh Bank Syariah. 

Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba (lihat Fatwa DSN-MUI nomor 4). Nasabah yang dibiayai untuk mendapatkan Rumah dengan Akad Murabahah sejatinya melakukan transaksi jual beli secara tempo atau angsur dalam jangka waktu tertentu. Jika transaksi dilakukan secara tunai, maka kecil kemungkinan Nasabah itu akan mendatangi Bank Syariah.

Saat dilakukan penyerahan objek akad (dalam hal ini rumah) pada akad murabahah secara tempo, maka jual beli tersebut telah sempurna. Kemudian munculah hubungan hutang-piutang. Nasabah secara prinsip syariah dan/atau legal formal dinyatakan berhutang kepada Bank Syariah sebesar harga jual yang belum dilunasi. Sebaliknya, Bank Syariah dinyatakan memiliki hak tagih (piutang) terhadap Nasabah.

Komponen harga jual yang belum dilunasi adalah ; harga perolehan ditambah marjin yang diambil Bank Syariah kemudian dikurangi uang muka yang telah dibayar Nasabah. Setelah Murabahah disepakati, kewajiban atau hutang Nasabah kepada Bank Syariah tidak akan mungkin bertambah. Jika ditemukan Bank Syariah menambahkan harga jual, maka harga yang ditambahkan tersebut adalah Riba. Secara prinsip syariah, tambahan yang muncul dari hutang-piutang maka tambahan itu adalah Riba (San´Ã¢ni - Subulussalam ; 2000).

Dalam pencatatan transaksi Murabahah, Bank Syariah mencatat pembiayaan murabahah sebagai Piutang Murabahah dengan nilai diakui sebesar harga perolehan ditambah keuntungan (marjin) yang disepakati (PAPSI, 2013; 4.8). Agar tidak menimbulkan ‘penggelembungan’ sisi Aktiva dari transaksi Murabahah maka ada pos tambahan yang menjadi kontra pencatatan (sebagai pengurang) yaitu Marjin Murabahah Ditangguhkan. Ketika kedua pos ini digabungkan, maka akan diketahui nilai pokok pembiayaan.

Sekali lagi ditegaskan bahwa secara prinsip syariah dan/atau legal formal, tidak ada yang salah dan tidak ada yang dilanggar oleh Bank Syariah. Sebab, Bank boleh membebankan seluruh sisa harga jual sebesar Rp 832.131.136,- (sisa pokok dan sisa marjin) kepada Andi yang berencana melakukan pelunasan pembiayaan sebelum jatuh tempo. Andi seharusnya berterima kasih kepada Bank Syariah yang berinisiatif memberinya ‘keringanan’ jumlah pelunasan hanya sebesar sisa pokok dan 3 bulan marjin, yaitu sebesar Rp 384.456.211.

Keadilan Dalam Menghitung Kewajiban Pelunasan

Jika benar apa yang dinyatakan oleh Andi ; "kewajiban pelunasan dipercepat KPR iB Akad Murabahah yang ia harus selesaikan adalah sisa Harga Jual terhutang sebesar Rp 832.131.136 (sisa pokok dan sisa margin)", maka Saya menyimpulkan Bank Syariah itu telah melakukan kedzaliman. Dzalim adalah lawan kata dari Adil. Keadilan adalah nilai dasar dari transaksi muamalah yang selama ini telah dikampanyekan secara masif oleh berbagai pihak. 

Saya sengaja menggunakan kalimat “jika benar ini dilakukan oleh Bank Syariah”. Berdasarkan pengalaman pribadi berinteraksi dengan bankir syariah, kecil kemungkinan tindakan ‘sekejam’ itu terjadi. Saya pun Nasabah KPR iB yang sepakat (secara tidak tertulis) dengan Bank Syariah, bahwa kewajiban pelunasan dipercepat adalah sebesar sisa pokok dan 1 kali marjin.

Walaupun terdapat beberapa hal dalam tranksaksi murabahah yang perlu diperbaiki, namun secara umum praktek yang saya alami sudah sesuai dengan prinsip Syariah. Adapun yang belum sesuai, semoga Allah subhanahu wa ta'ala berkenan memberikan ampunan kepada saya dan Bank Syariah. Saya berprinsip ;

“Apa saja hal yang tidak bisa dicapai sempurna 100% sesuai kaidah, maka terhadap hal-hal yang sudah saya lakukan sesuai kaidah tidak akan pernah saya tinggalkan.”  

Terdapat 2 pertimbangan kuat saat Saya menyatakan bahwa Bank Syariah Andi telah melakukan kedzaliman.

Pertama adalah Bank Syariah mengabaikan 'urf tujar atau common practice atau kebiasaan umum di dunia perbankan. Ada aturan yang umum berlaku pada produk KPR. Pelunasan setelah jangka waktu tertentu tidak dikenakan pinalti atau hanya melunasi pokok pinjaman. Bisa saja pelunasan setelah melawati 12 bulan atau 24 bulan atau setelah melewati masa promo. Jika dilakukan pelunasan sebelum waktu kesepakatan, maka biasanya Bank akan mengenakan penalti  mungkin 1 % atau lebih dari sisa pokok kredit. Tidak pernah saya menemukan ada Bank yang membebani seluruh bunga terhutang pada pelunasan sebelumjatuh tempo ( dipercepat).

“Bukankah adat atau kebiasaan (dalam dunia bisnis Bank) bisa menjadi dasar penetapan hukum syariah? Mengapa Bank Syariah menyelisihi kebiasaan umum tersebut sehingga menyebabkan seseorang terdzalimi? Bukankah DSN-MUI sendiri sudah menerbitkan Fatwa yang mengatur mengenai potongan tagihan murabahah (Fatwa Nomor 46) ? Mengapa Fatwa tersebut tidak jalankan ? Bukankah Allah subhanahu wa ta'ala akan menolong disaat kita menolong (mengurangi beban) orang lain?”

Kedua ;  berdasarkan rate of return - RR (angka prosentasi keuntungan) Bank Syariah berpotensi melakukan ‘kedzaliman’ kepada Andi. Pendekatan Internal Rate of Return / IRR dapat dijadikan instrumen perhitungan untuk mengungkap potensi tersebut. Sebagai catatan, perhitungan IRR memang identik dengan cara menghitung bunga yang notabene dihukumi sebagai Riba. Namun, perlu juga diketahui bahwa perhitungan dan angka prosentasi bukanlah Riba. Justifikasi Riba terhadap suatu transaksi adalah bergantung pada akad dan/atau dasar transaksi dari akad itu sendiri (underlying

Pasa awal Akad Murabahah, sebetulnya Andi dan Bank Syariah telah menyepakati secara “tidak langsung” bahwa RR awal yang ditetapkan pada KPR iB adalah 13,25% fix/tetap/tidak berubah selama 15 tahun. Andi menyebutkan dengan istilah flat, namun ia keliru. Sebab, flat (proporsional/tahriqah mubasyirah) adalah salah satu metode pengakuan keuntungan. Lainnya adalah metode pengakuan anuitas (proporsional atas sisa pokok/ thariqah al-hisab al-tanazuliyyah), lihat Fatwa DSN-MUI nomor 84.
  1. Jika Bank Syariah membebankan keseluruhan sisa harga jual pada Andi, maka dengan menggunakan perhitungan IRR diperoleh RR baru yang ditetapkan Bank Syariah bukan lagi 13,25% melainkan meningkat menjadi 90,37%. Bukankah ini potensi kedzaliman secara kontekstual ?       
  2. Jika Bank Syariah membebankan 3 kali atau bulan marjin pada Andi, maka dengan menggunakan perhitungan IRR diperoleh RR baru yang ditetapkan Bank Syariah bukan lagi 13,25% melainkan meningkat menjadi 15,28%. Relatif tidak menzalimi namun tetap belum sesuai dengan kesepakatan tidak tertulis di awal akad.
  3. Jika Bank Syariah membebankan 1 kali atau bulan marjin pada Andi, maka dengan menggunakan perhitungan IRR diperoleh RR baru yang ditetapkan Bank Syariah tetap sebesar 13,25%. Ini artinya Andi diringankan dan Bank Syariah tidak dirugikan.

Besaran jumlah pelunasan yang harus dibebankan kepada Nasabah untuk dapat mencapai nilai RR awal bisa berbeda bergantung jangka waktu pada saat pelunasan. Pesan yang ingin disampaikan adalah perhitungan jumlah pelunasan semestinya dapat mengacu pada RR awal, yaitu saat disepakatinya Akad Murabahah. Janganlah Para Bankir berlindung di balik prinsip syariah atas ketidakadilan dalam pelunasan dipercepat. Walaupun angka RR tersebut tidak secara tekstual masuk dalam struktur Akad, bukankah adil jika RR awal dan RR pada saat pelunasan tetap tidak berubah? Bukankah RR yang tetap merupakan esensi dari transaksi murabahah ? Dalam murabahah jika harga sudah disepakati maka sampai kapan pun harga akan tetap tidak berubah.

Dalam konteks permasalahan Andi, RR awal adalah 13,25% maka pada saat pelunasan Bank Syariah semestinya hanya membebankan 1 kali marjin kepada Andi. Berdasarkan perhitungan IRR dengan membebankan 1 kali marjin ditambah sisa pokok, Bank Syariah tidak dirugikan karenan tetap mendapatkan RR sebesar 13,25%.

Jika ini bisa diterapkan, maka Bank Syariah telah melakukan keadilan kepada Nasabah baik secara tekstual maupun kontekstual.

Mari pahami akad, keuntungan dan risiko produk Bank Syariah yang akan kita gunakan. Jika sudah memahami, maka in syaa allah kita akan terhindar dari tindakan-tindakan provokasi berlebihan yang terkadang malah menjadi penyebab terdzalimi-nya pihak lain.



Demikianlah Artikel

Sekianlah artikel kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.