loading...

Abrahah, dari seorang prajurit menjadi sang penghancur - Hallo sahabat Pahala Online, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Abrahah, dari seorang prajurit menjadi sang penghancur, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel RINGKASAN KORAN/JURNAL/DLL, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.



Judul : Abrahah, dari seorang prajurit menjadi sang penghancur
link : Abrahah, dari seorang prajurit menjadi sang penghancur

Baca juga


Abrahah, dari seorang prajurit menjadi sang penghancur


by Muhammad Iqbal (Pemerhati Sejarah Islam)

Makkah dan Madinah sejak dahulu merupakan daerah yang aman dari penjajahan bangsa lain, hal ini di sebabkan karena dua daerah tersebut memiliki kondisi alam yang sangat ekstrim dan di kelilingi bukit-bukit bebatuan yang kemudian secara alamiah menjadi “benteng” dari serangan musuh. Dan dua imperium besar saat itu adalah Romawi dan Persia sebenarnya juga ingin memiliki Makkah dan Madinah karena merupakan sumber perekonomian. Namun dua imperium ini menyadari betapa susahnya mereka untuk menguasai dan menyebarkan ajaran mereka. Sebagai gantinya Romawi menyebarkan ajaran agama Nasrani di Yaman yang saat itu secara politik di kuasai oleh dinasti Himyariah dan memiliki raja yang bernama Dzu Nuwas. Dan di masa dinasti Himyariah ini agama Yahudi sudah telebih dahulu menyebarkan ajarannya.

Melihat daerah kekuasaannya di masuki oleh ajaran Nasrani, Dzu Nuwas merasa terganggu dan mengancam penduduk Najran yang beragama Nasrani jika tidak perpindah ke ajaran Yahudi, maka Dzu Nuwas tidak akan segan-segan untuk membunuhnya. Dan sebagian besar penduduk Najran tetap setia kepada ajaran Nasrani,  Dzu Nuwas sangat marah sekali dengan kesetiaan penduduk Najran hingga akhirnya ia memerintahkan prajuritnya untuk membunuh semua penduduk Najran yang beragama Nasrani dengan cara memasukannya kedalam parit dan membakarnya.  Imperium Romawi sebagai pelindung ajaran Nasrani, sangat kecewa dan marah kepada raja Yaman yang secara keji membunuh para pemeluk Nasrani. Karenanya Imperium Romawi memerintahkan penguasa Habasyah yang bergelar Raja Najasy untuk mengirimkan pasukan ke Yaman. Raja Najasy pun mentaati perintah, kemudian ia mengirim 70.000 pasukan yang di komandoi oleh Aryath dengan salah satu pasukannya yang bernama Abrahah al-Asyrum.

Dengan jumlah pasukan yang cukup banyak tersebut akhirnya mengalahkan pasukan Dzu Nuwas, Prof. Ali Husni[1]yang menukil pendapatnya Imam ath-Thabari mengatakan bahwa Dzu Nuwas memacu kudanya membelah ombak lautan dan setelah itu ia mengilang, dan itu pertanda berakhirnya kekuasaan dinasti Himyari. Prof. Ali Husni menambahkan bahwa penyerangan pasukan Habasyah merupakan langkah kecil dari imperium Romawi, yang sesungguhnya tujuan utama mereka mengirimkan pasukan adalah untuk menjajah Yaman. Dari kemenangan melawan pasukan Dzu Nuwas ini, Raja Najasy mengangkat Aryath sebagai Raja Yaman. Namun kekuasaan Aryath hanya sebentar, ia serakah terhadap harta rampasan perang, dan inilah yang memicu pemberontakan dari kalangan pasukannya sendiri. Beberapa pasukan yang merasa mendapatkan jatah harta rampasan yang sedikit, melakukan sebuah kudeta untuk membunuh Aryath di bawah komando Abrahah. Dan kudeta itu berhasil, kemudian Abrahah mengambil tampuk kekuasaan dan menjadi Raja Yaman.

Di masa Abrahah ini pula mereka mampu mengeksploitasi semua sumber daya yang ada di Yaman. Raja Najasy mendapatkan kabar bahwa Abrahah melakukan pemberontakan kepada Aryath dan membunuhnya, kemudian Raja Najasy telah menyiapkan pasukannya untuk menyerang balik Abrahah. Dengan rasa ketakutan Abrahah dengan cepat mengirimkan surat kepada raja Najasy “Wahai rajaku, sesungguhnya Aryath adalah hamba sahayamu, dan aku pula hamba sahayamu, memang benar bahwa kami berselisih pandang dalam perintahmu, dan kami semua taat kepadamu, namun aku lebih kuat dan lebih paham kondisi Habasyah di bandingnya, saat aku mendengar bahwa paduka raja akan mengirim pasukan untuk menyerang Yaman, aku sudah terlebih dahulu mencukur semua rambutku. Dan aku juga mengirimkan rambutku dan segenggam tanah Yaman kepada paduka raja untuk di letakkan di bawah kaki paduka raja. Dengan hal ini sekiranya paduka raja memaafkan dan membatalkan niat paduka untuk menyerang Yaman.” Ketika surat dan paket kiriman Abrahah tiba di Habasyah, Raja Najasy memaklumi dan memahami paket yang dikirimkan sebagai bentuk kesetiaan dan ketaatan Abrahah kepada Raja Najasy. Kemudian Raja Najasy mengirimkan surat balasan kepada Abrahah, “Menetaplah di Yaman hingga tiba perintahku.” 

Setalah naik tahta Abrahah[2]kemudian menjadikan Sana’a sebagai ibu kota Yaman. Dengan kekuasaan yang di milikinya sebagai seorang Raja Yaman, Abrahah memerintahkan pasukaannya untuk membuat bangunan yang menjulang tinggi, dan dalam bahasa Arab di sebut “Qullays”[3]yaitu gereja yang sangat megah dan dapat di kunjungi oleh siapa saja, dan di klaim oleh Abrahah belum pernah dibangun oleh raja manapun. Ambisi Abrahah adalah agar bangsa Arab meninggalkan  Ka’bah dan menjadi penganut agama Nasrani dan beribadah di gereja Sana’a Yaman. Dan ketika bangunan itu rampung, Abrahah mengajak seluruh penduduk jazirah Arab untuk beribadah di gerejanya.

Melihat sebuah bangunan baru tak lantas membuat orang-orang Arab bergembira, justru ini memancing kemarahan, tercatat dalam sejarah bahwa salah seorang dari Bani Malik bin Kinanah sengaja mendatangi Qullays untuk mengotorinya sebagai bentuk penghinaan kepada Abrahah. Melihat gerejanya di kotori, Abrahah menjadi beram dan bersumpah untuk segera menghancurkan Ka’bah agar tidak adalagi tandingan dan berani mengotorinya. Padahal awalnya Abrahah mengajak penduduk Arab untuk beribadah ke gerejanya dengan cara santun namun setelah gerejanya di kotori oleh Bani Malik, Abrahah berubah sikap menjadi amat marah kepada masyarakat Arab, dan dari sisi penduduk Arab sumpah Abrahah ini di tanggapi dengan serius dan bersumpah pula akan memerangi Abrahah karena telah berani ingin menghancurkan Ka’bah, rumah Allah yang mulia.

Niat jahat akan bertemu dengan orang yang berniat jahat pula

Kemudian Abrahah memerintahkan pasukannya untuk pergi memberikan laporan kepada Raja Najasyi bahwa ia dan pasukannya akan menyerang kota Makkah dan meminta bala bantuan berupa beberapa gajah. Namun rencana Abarahah tak berjalan dengang mulus begitu saja, ada beberapa rintangan yang di hadapinya sebelum akhirya ia berhasil mendekati kota Makkah. Rintangan pertama justru berasal dari daerah kekuasaan Abrahaah sendiri, yaitu salah seorang pembesar Yaman yang bernama Dzu Nafar yang merupakan sekutu dari Quraisy yang tidak rela Abrahah dan pasukannya akan menghancurkan Ka’bah.

Dzu Nafar menyerukan kepada kaumya yang sepaham dengannya untuk menyerang Abrahah, namun penyerangan ini tidak berlangsung lama, karena pasukan Dzu Nafar dapat dengan mudah di kalahkan pasukan Abrahah, dan saat Dzu Nafar tertawan dan akan di bunuh, maka Dzu Nafar memelas memohon ampun dan  berkata “Wahai raja, janganlah engkau membunuhku, boleh jadi kebersamaanku denganmu akan lebih baik daripada membunuhku.” Abrahah pun memaafkannya kemudian mengikat kedua kakinya dengan rantai, Abrahah dan pasukan beserta para tawanannya pun kembali melanjutkan perjalanan dalam misi penghancuran Ka’bah.

Rintangan kedua yang di hadapi Abrahah adalah saat mereka tiba di Tihamah yang di pimpin oleh seorang dari Bani Khats’am yang bernama Nufail bin Habib al-Khats’am menyerang Abrahah, dan lagi-lagi dengan mudah Abrahah  mengalahkan pasukan Nufail bin Habib dan menawannya. Karena di anggap menghalangi misi Abrahah, sebenarnya ia ingin membunuh pemimpin Bani Khats’am tetapi Nufail bin Habib memohon belas kasihan Abrahah dan berkata “Wahai raja, janganlah engkau bunuh aku karena aku adalah pemandu di tanah Arab. Ini adalah dua orang tangan kananku dari kabilah Khats’am, Shahran dan Nahis. Kami tunduk dan patuh padamu.” Abrahah pun membebaskannya dan kemudian Nufail memandu Abrahah menuju Makkah.

Perjalanan misi penghancuran Ka’bah pun dilanjutkan hingga tibalah mereka di Thaif, dan bertemu dengan pemimpin dari kabilah Tsaqif yang bernama Mas’ud bin Mu’tab, namun pertemuan dengan kabilah Tsaqif ini berbeda dengan dua kabilah sebelumnya yang berperang dengan Abrahah. Kabilah Tsaqif justru menyatakan kesetiaannya kepada Abrahah sehingga pernyataan mereka dapat dikatakan berlebihan mereka berkata,”Wahai raja, sesungguhnya kami adalah budakmu kami mendengarkan dan taat kepadamu, tidak ada pada kami perselisihan padamu, dan bukanlah rumah ibadah kami yang paduka raja tuju-maksud mereka adalah Latta- sesungguhnya rumah ibadah yang paduka raja tuju berada di Makkah dan kami akan mengutus seseorang yang akan menjadi pemandu paduka raja menuju Makkah.”  

Kemudian Mas’ud bin Mu’tab mengutus Abu Righal sebagai pemandu pasukan Abrahah sampai di Mughammis sebuah daerah di pinggiran Makkah. Namun takdir Allah menentukan Abu RIghal meninggal dunia kota ini. Bagi masyarakat kota Makkah yang melintasi kuburan Abu Righal di Mughammis sering melempari kuburannya karena marah mengenang perbuatan Abu Righal yang memandu Abrahah menuju Makkah.

Setelah dari Mughammis Abrahah mengutus al-Aswad bin Maqsud untuk merampas semua harta benda milik bani Quraisy termasuk 200 unta milik Abdul Muthalib bin Hisyam. Sebenarnya bani Quraisy dan Kinanah ingin melawan pasukan Abrahah namun mereka merasa tidak mampu melihat jumlah pasukan Abrahah yang sangat banyak. Kemudian Abrahah mengutus Hunathah al-Himyari dan memerintahkannya untuk mencari pemimpin dari negri ini-yang dimaksud adalah Makkah-, dan katakan kepada mereka bahwa “Sesungguhnya saya (Abrahah) datang untuk berperang melawan kalian, saya hanya ingin menghancurkan Ka’bah selama kalian tidak berniat melawan saya.” Sesampainya Hunathah di Makkah bertemulah dia dengan pemimpim Makkah yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay dan menyampaikan apa yang di perintahkan Abrahah padanya, Abdul Muthalib berkata, “Demi Allah kami tidak ingin berperang melawannya, dan kami juga tidak mampu untuk memeranginya, ini adalah rumah Allah yang suci dan rumah kekasihnya, nabi Ibrahim Alaihi Salam.” Kemudian Hunathah mengajak Abdul Muthalib untuk bertemu dengan Abrahah.

Sesampainya Abdul Muthallib dan Hunathah di kemah Abrahah. Kemudian di pandu oleh dua orang penerjemahdari Habasyah dan Arab di samping Abrahah untuk mengetahui apa yang di inginkan Abdul Muthalllib. Ternyata yang di inginkan Abdul Muthallib hanyalah mengambil 200 ekor unta yang di rampas oleh pasukan Abrahah. Mendengarkan permintaan Abdul Muthallib tersebut membuat Abrahah kecewa, karena sebelumnya ia sempat kagum dengan sosok Abdul Muthallib, namun justru Abdul Muthallib lebih mengutamakan unta miliknya dan sahabatnya di bandingkan rumah Allah yang menjadi tempat ibadah kakek moyang mereka. Abdul Muthallib menambahkan “Sesungguhnya aku adalah pemilik unta ini sedangkan Ka’bah pemiliknya adalah Allah, Dia yang akan menjaganya”, kemudian dengan sombongnya Abrahah membalasnya dengan berkata “Baiklah, sekarang tidak adalagi yang  menghalangiku untuk menghancurkan Ka’bah”, di balas singkat oleh Abdul Muthallib “Itu urusan Anda dengan-Nya.”

Meski demikian Abdul Muthallib sebenarnya juga tidak ingin Ka’bah yang mulia ini akan dihancurkan oleh Abrahah, untuk itu sempat bernegosiasi dengan Abrahah dengan memberikan 1/3 dari harta penduduk Tihamah namun Abrahah bersi keras akan tetap menghancurkan Ka’bah.

Maka kembalilah Abdul Muthallib dengan perasaan menyesal tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan Ka’bah dari serangan pasukan Abrahah. Dan Abdul Muthallib pun memerintahkan penduduk di sekitaran Ka’bah untuk mengungsi di balik lembah-lembah yang berada di Makkah. Setelah semuanya mengungsi tinggallah Abdul Muthallib seorang diri, ia berdiri di depan pintu Ka’bah sambil memegang pintu Ka’bah dan seraya berdoa, “ Ya, Allah seorang itu telah melindungi pelananya, maka lindungilah hukum yang sah menurut-Mu, janganlah salib mengalahkan-Mu dna tipu daya mereka atas tipu daya-Mu, jika Engkau membiarkan mereka dan kiblat kami maka urusan itu adalah sesuai dengan yang Engkau ketahui.[4]

Sementara itu pasukan Abrahah mulai bergerak, namun mereka masih harus menempuh puluhan mil lagi untuk sampai di Makkah.[5]Dan saat matahari mulai terbit, Abrahah dan pasukannya akan mendekati Makkah membawa beberapa ekor gajah yang di kirim dari kota asalnya Habasyah, Abrahah pun menunggangi gajah yang paing besar yang bernama Mahmud. Namun tak di sangka gajah-gajah ini tidak mau mengkuti keinginan Abrahah, setiap kali ingin mendekati Makkah, maka gajah-gajah ini selalu tersungkur ke tanah, meskipun pawang mereka memaksa berdiri mereka kembali tersungkur tapi anehnya ketika gajah-gajah ini berdiri dan menghadap  Yaman atau ke arah selatan, mereka berlari.

Kemudian datanglah sekumpulan burung[6]dari arah lautan dan masing-masing burung membawa tiga buah batu, satu batu di letakkan di paruhnya dan dua buah batu di kakinya. Setiap burung melemparkan batu-batu itu ke arah pasukan Abrahah, namun tidak semua terkena batu-itupun hanya sedikit saja-dan pasukan yang selamat itu pun hidupnya terlunta-lunta[7], sedangkan nasib Abrahah sendiri tercatat dalam sejarah[8]terkena batu dan akhirnya mati dalam keadaan hina, dan kisah ini di abadikan dalam al-Quran dalam surat al-Fiil ayat 1-5. Itulah akhir hidup seorang mantan prajurit yang kemudian menjadi raja Yaman namun kesombongan meyelimuti dirinya dan akhirnya di balas oleh Allah dengan pasukannya dan menjadikan Abrahah hina dalam sejarah peradaban manusia.

Kekalahan Abrahah ini merupakan tonggak awal terjadinya kebangkitan sejarah bangsa Arab. Dan menjadi awal berkembangnya syair-syair yang bertemakan kekalahan pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah di antara penyairnya adalah sepupu nabi Muhammad yaitu Thalib bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib. Penduduk Makkah juga menjadikan kekalahan Abrahah ini sebagai penanggalan waktu di setiap kejadian. Penduduk Makkah pun kembali hidup seperti sedia kala, mereka berkumpul untuk menyembah berhala yang berjumlah 300-an di sekitaran Ka’bah.

Menurut Prof. Muhammad Ali ash-Shallabi[9]hikmah yang dapat kita pelajari dari Abrahah dan pasukannya adalah, Allah ingin membuktikan keagungan baitullah dan bukti kenabian, sebab saat Abrahah menyerang Ka’bah, Rasulullah masih berada dalam kandungan ibunda Aminah, beliau lahir setelah 50 hari setelah kegagalan Abrahah dan pasukannya untuk menghancurkan Ka’bah.

Dari sejarah ini dapat kita ambil pelajaran, bahwa kesombongan itu akan berakhir dengan kehinaan, begitulah yang terjadi pada diri seorang mantan pasukan yang kemudian mengkudeta rajanya sendiri dan merebut kekuasaan. Kesombongan kepada kekuasaan inilah yang menghantarkan Abrahah pada gelapnya pandangan terhadap kehidupan, dia bisa saja memaksa pasukannya untuk membuat bangunan yang lebih megah di bandingkan Ka’bah dan iri terhadap keagungan Ka’bah. Tapi semua itu langsung di jawab oleh Allah dengan mengirimkan pasukan burung untuk menghancurkan Abrahah. Lalu masih pantaskah kita untuk bersombong diri dengan kekuasaan, keilmuan dan harta yang kita miliki sedangkan semua itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

SKKM, masih merenungkan diri ini yang masih sering sombong. 




[1] Prof. Dr. Ali Husni al-Kharbuthi, Sejarah Ka’bah, Kisah Rumah Suci yang Tak Lapuk Dimakan Zaman (Jakarta:  Turos, 2013) hal: 151
[2] Ibid, Abrahah menduduki tahta kerajaan Yaman dari tahun 525-575 M hal: 152
[3] Al-Qullays berasal dari kata Yunani yaitu ekklesia yang artinya gereja.
[4]   Ibnu Hisyam, As-Siratun Nabawiyah libni Hisyam, jilid I (Darul Kutub al-Ilmiyah Libanon 2009) hal: 38.
[5]   Menurut Pro. Ali Husni, pasukan Abrahah masih butuh waktu tiga hari untuk sampai di kota Makkah.
[6] Banyak masyarakat yang menyangka bahwa Ababil adalah nama dari jenis burung, padahal dalam kitab Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa Abaabiil itu artinya kumpulan-kumpulan, jadi jelas disini bahwa ababil bukanlah jenis burung melainkan kumpulan burung-burung yang membawa batu. Syaikh Ahmad Syakir menambahkan bahwa burung-burung itu seperti burung alap-alap.
[7]  Prof. Ali Husni mengatakan bahwa pasukan Abrahah yang masih hidup menjadi pengemis di pinggiran Makkah, kemudian juga ada yang menjadi kuli dan petani penggarap.
[8]  Prof. Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi, Sirah Nabawiyah(Jakarta, Beirut Publishing: 2014) hal: 33. Beliau mencatat akhir hidup Abrahah terkena penyakit pada tubuhnya dan ujung-ujung jarinya berjatuhan dan setiap ujung jarinya yang jatuh itu di barengi dengan nanah dan darah. Dan Abrahah berhasil pulang ke Yaman dan kemudian mati.
[9] Ibid hal:33.




Demikianlah Artikel

Sekianlah artikel kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.